Standar untuk Kepastian Usaha dan Kelestarian Sumber Daya Alam

Standar untuk Kepastian Usaha dan Kelestarian Sumber Daya Alam

Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) senantiasa berimplikasi pada kualitas lingkungan dan kelestarian hutan.  Standar menjadi pemandu tata kelolanya. Tanpa standar, maka usaha-usaha pemanfaatan SDA akan bergulir liar, bisa jadi tidak terkendali menguras SDA tanpa bisa balik. Standar di satu sisi memastikan ekonomi tumbuh, di sisi lain pun memastikan kelestarian lingkungan dan kecukupan luasan hutan. Tidak cukup dengan pendekatan komando dan kontrol, namun juga harus dibarengi dengan insentif atau disinsentif.

___

Membicarakan pengelolaan sumber daya alam atau SDA, tidak akan lepas dari kerangka pembangunan berkelanjutan. Apa yang dilakukan generasi saat ini tidak boleh mengorbankan kemampuan alam untuk dapat mencukupi kebutuhan generasi yang akan datang.

Indonesia yang dikaruniai iklim tropis telah dikenal kaya SDA. Sumber daya alam merupakan obyek menarik dan diperebutkan oleh ragam kepentingan. Oleh karena itu, magnitude tantangan mengelolanya tinggi. Menjaga kelola tersebut, pemerintah telah dan terus melakukan pengaturan-pengaturan. Di satu sisi pemerintah harus memenuhi kebutuhan ekonomi, di sisi lain harus menjaga lingkungan. Untuk memastikan ekonomi berjalan, lingkungan tetap terjaga, perlu pemandu, yaitu standar.

Pemanfaatan SDA yang belum ramah lingkungan dan memberikan kesejahteraan signifikan kepada masyarakat sekitar, masih mengemuka. Beberapa langkah koreksi dilakukan pemerintah untuk melakukan pengaturan-pengaturan optimal dalam dinamika perkembangan persoalan kehutanan dan lingkungan. Perbaikan tata kelola SDA hari demi hari dilakukan.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) semakin mempertegas kebutuhan akan standar tersebut. Penguatan ekonomi nasional melalui peningkatan ekosistem investasi dan memperluas lapangan kerja sebagai tujuan UUCK, mutlak harus dibarengi upaya-upaya terstruktur untuk memastikan kualitas lingkungan dan kelestarian hutan terjaga baik.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, menggarisbawahi bahwa kebijakan tersebut adalah tentang keharusan aktualisasi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan.  Untuk mendukung itu, dalam bidang LHK pemerintah melakukan reformasi struktural dengan membentuk Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK). Peraturan Presiden Nomor 92 tahun 2020 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 15 tahun 2021 sebagai landasan hukumnya.

Badan baru di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini mendapat mandat untuk memastikan usaha-usaha kehutanan serta kegiatan-kegiatan pemanfaatan SDA yang berimplikasi pada kualitas lingkungan hidup dan kelestarian hutan dapat terkendali dengan baik. BSILHK tidak hanya memproduksi standar, melainkan juga harus memastikan standar yang dibangun, diimplementasikan para pelaku usaha bidang LHK.

 

Standar Apa yang Dibangun?

Tanpa standar, maka usaha-usaha pemanfaatan SDA akan bergulir liar. Bisa jadi tidak terkendali dan menguras SDA tanpa bisa kembali. Sebagai contoh, negara Nauru yang dulunya kaya raya, kini jatuh miskin karena salah mengelola SDAnya. Banyak contoh lain, kasus Minamata yang merupakan contoh konkrit betapa usaha-usaha industri yang tidak memperhatikan lingkungan akan menuai bencana. Siapa yang menanggung akibatnya? Telah terekam dalam memori kita bersama.

Standar juga berpotensi menjadi biaya transaksi dalam usaha dan investasi. Oleh karenanya standar perlu dirancang serius untuk menjamin kepastian usaha, dengan membangun orientasi insentif dan disinsentif. Catatan tapak mengekspresikan bahwa pendekatan-pendekatan komando dan kontrol tidak cukup mengendalikan dampak-dampak aktifitas ekonomi terhadap lingkungan dan kelestarian hutan.

Dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan (LHK), standar bukan hal baru.  Sejarah mencatat bahwa Tebang Pilih Indonesia (TPI) pada tahun 70an menjadi standar sistem silvikultur hutan alam produksi saat itu. Berbagai penyempurnaan terus dilakukan melalui sistem-sistem berikutnya.

Namun regenerasi hutan alam yang diharapkan sesuai proyeksi sistem tidak sepenuhnya terjadi. Banyak faktor penyebab. Salah satunya adalah jenis standarnya, yang lebih berorientasi pada proses, sehingga dipandang kaku dan tidak menyisakan ruang gerak pengelola di lapangan untuk berkreasi menyesuaikan dengan kondisi untuk memberikan hasil yang lebih baik, yang akhirnya terjebak pada laporan-laporan administratif.

Implementasi standar LHK pada level sertifikasi juga telah diterapkan di Indonesia pada akhir 1990, yang terus berkembang dalam puluhan inisiatif sertifikasi kehutanan berkelanjutan hingga kini.  Bahkan pemerintah pun telah membangun standar wajib memperkuat sertifikasi kehutanan berkelanjutan secara signifikan melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sejak 2009 silam.

Penerapan SVLK tersebut dianggap berkontribusi pada penurunan tingkat deforestasi di Indonesia menjadi di bawah 500.000 hektar setahun pada 2020.  Berhasil menjauh dari puncaknya pada 1996-2000 yang mencapai 3,5 juta hektare.

Lantas, standar seperti apa yang kini perlu dibangun?

Mengacu pada UUCK, dalam sebuah kesempatan, Menteri Siti menjelaskan bobot utamanya pada penyederhanaan prosedur dan mengatasi hambatan birokratis. UUCK menurutnya menegaskan posisi perizinan sebagai instrumen pengawasan. UUCK juga memberikan jalan keluar pada berbagai kebuntuan dalam sengketa regulasi, penggunaan kawasan hutan, serta akibat-akibat yang terjadi dalam waktu yang panjang seperti konflik tenurial.

Orang nomor satu di KLHK ini juga menjelaskan bahwa UUCK memberikan penegasan yang nyata akan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada masyarakat. Keberpihakan tersebut baik dalam alokasi penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan, akses pemanfaatan untuk kemantapan perhutanan sosial, hingga memberikan jalan untuk penyelesaian masalah hutan adat, termasuk perubahan-perubahan dalam sistem pengelolaan hutan.

Untuk memenuhi itu, BSILHK menargetkan 2 agenda besar standardisasi. Pertama, standar terkait dengan perizinan dan persetujuan baik perizinan berusaha, persetujuan dasar, maupun persetujuan penggunaan/pemanfaatan kawasan hutan. Kedua, standar non perizinan yaitu standar produk dan standar lain seperti standar proses dan pelayanan.

Empat program prioritas segera dikerjakan BSILHK. Pertama, melakukan pemetaan pelaku usaha dan entitas yang aktivitasnya berdampak pada lingkungan hidup. Kedua, percepatan inventarisasi jenis standar untuk pengendalian lingkungan. Ketiga, pembagian peran dengan entitas standardisasi secara nasional, dan keempat adalah membangun standar instrumen untuk mengukur keberhasilan/kegagalan pengendalian dampak lingkungan dan pengendalian dampak usaha hutan dan kehutanan. Untuk sementara, BSILHK mencatat terdapat 4.396 usaha kehutanan. Data ini akan menjadi perintis kerja BSILHK di tapak.

Berkaca dari pengalaman standar pada masa lalu, maka bentuk dan sifat penerapan standar di lapangan menjadi hal yang sangat menentukan. Untuk itu, berdasarkan hasil inventarisasi jenis standar dalam program prioritas di atas, BSILHK akan memetakan kebutuhan standar.  Standar hasil atau standar proses? Bersifat pasti atau dapat menyesuaikan kondisi di lapangan, sepanjang menjamin kesesuaian hasil? Bagaimana standar mengkreasi bisnis tanpa menimbulkan biaya transaksi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi kerangka berpikir utama perumusan standar oleh BSILHK.

Di samping itu, BSILHK pun terbuka pada pelbagai dinamika yang terjadi. Berbagai faktor baik dalam dan luar negeri berpotensi mengubah standar. Kebijakan nasional, kebutuhan pasar dan industri, perkembangan standardisasi nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi SDA termasuk hutan dan lingkungan hidup, adalah beberapa faktor penentu. Untuk itu, BSILHK akan menjalankan peran strategis lintas organisasi untuk mengakomodir faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan perubahan.

 

Membangun Standar yang Menjamin Kepastian Usaha

Bagi negara-negara maju, standar digunakan sebagai infrastruktur untuk melindungi pasar di wilayahnya. Standar juga digunakan untuk menguasai pasar dunia. Standardisasi pada berbagai sektor saat ini terus meningkat sebagai upaya menaikkan daya saing nasional dalam tataran ekonomi global. Ini juga menunjukkan bahwa standar berperan penting dalam menjamin kepastian usaha. 

Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB, Prof. Hariadi Kartodihardjo, melalui surat dari Darmaga, menyampaikan pesan pentingnya.  Menurut Hariadi, standar perlu dihubungkan dengan efisiensi pelaksanaan kebijakan, sehingga tidak menambah biaya transaksi. Kompleksitas ukuran harus dihindari agar biaya dapat ditekan sekecil mungkin. BSILHK disarankan untuk memeriksa efektivitas kebijakan melalui pendekatan insentif atau disinsentif. 

Menjawab hal tersebut, termasuk tuntutan UUCK, melalui 2 agenda besar standardisasi yang ditetapkannya, BSILHK akan fokus membangun standar yang menjamin kepastian usaha.  Menekan biaya transaksi sekecil mungkin untuk menghasilkan output tertentu, adalah strategi utamanya. Tentu dengan tetap memegang prinsip keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Memanfaatkan kemajuan teknologi adalah salah satu cara untuk mengurangi biaya transaksi. Komunikasi dan transaksi para pihak berkepentingan dilakukan dengan mudah dan cepat melalui kanal-kanal daring dan disimpan dalam basis data. Ini akan meningkatkan transparansi dan mengurangi celah KKN. Cara berikutnya adalah pembaruan kelembagaan untuk mewujudkan tata kelola (governance) yang baik, untuk tujuan mengurangi biaya administrasi dan mempercepat waktu pelayanan.

Dalam hal standar terkait pengelolaan SDA, isu-isu hak kepemilikan (poperty rights) dan penguasaan sumberdaya alam atau faktor produksi, ketidakseimbangan akses dan penguasaan informasi (asymmetric information), serta perilaku opportunistik (opportunistic behavior), juga harus dapat diminimalkan untuk mengurangi biaya transaksi.

Untuk itu, dalam setiap pengembangan standar, BSILHK akan menggunakan pendekatan pendekatan insentif atau disinsentif; memetakan perbedaan karakteristik biofisik, sosial dan budaya, serta ekonomi, maupun kapasitas lembaga pelaksananya; serta mengadopsi perkembangan iptek terkini, pengetahuan profesional, maupun pengetahuan lokal. BSILHK tidak dapat bekerja secara sendirian, karena terhubung dengan pihak lain para pemanfaat/pengguna SDA, pelaku usaha, dan regulator pemanfaatan SDA.

Dari semua standar yang telah, sedang, dan akan dikembangkan, standar pelengkap yang harus tersedia adalah standar instrumen untuk mengukur keberhasilan/kegagalan pembangunan dan penerapan standar. Melalui standar ini, akan diketahui efektivitas pengendalian dampak lingkungan dan pengendalian dampak usaha hutan dan kehutanan dari standar yang diterapkan. Ini menjadi feedback bagi perubahan standar untuk hasil yang lebih baik ke depan.

Harapannya, pengelolaan SDA lestari dapat tercapai, dan berkontribusi pada terwujudnya tujuan pembangunan berkelanjutan.  Kita tentu tidak ingin kekayaan SDA Indonesia menjadi kutukan, melainkan harus menjadi berkah bagi kemakmuran rakyat Indonesia.  Kisah pedih dari kebodohan mengelola SDA tanpa standar seperti yang terjadi di Negara Nauru, negara kaya raya yang jatuh miskin dan mengalami kerusakan ekosistem luar biasa, tidak boleh terjadi di negara kita tercinta.

Mari bekerja bersama, merumuskan standar-standar LHK terbaik untuk melindungi bangsa, sumber daya alam, dan lingkungan, serta meningkatkan daya saing Indonesia di dunia. (DP & YS)

Bagikan Berita / Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *