Forestry and Other Land Use-FoLU NET Carbon Sink 2030: Terobosan Berani Indonesia di Tengah Desakan Pembangunan Ekonominya

Dunia, Para Pihak – menyepakati menjaga suhu atmosfer bumi tidak lebih dari 1,5oC sejak pra industri, dengan prinsip “equity” dan “common but differentiated responsibilities and respective capabilities” antara negara maju, negara berkembang, negara terbelakang, dan negara rentan perubahan iklim. Indonesia sebagai negara berkembang – meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim-UNFCCC dan Paris Agreement mengurangi emisi GRK. Di tengah-tengah tuntutan pembangunan ekonomi, desakan ketersediaan teknologi dan kebutuhan digitalisasi, pemenuhan akses kesejahteraan penduduknya dan deraan kebutuhan kapasitas SDM berkualitas; Indonesia secara sukarela mendedikasikan mengurangi emisinya kepada dunia, menyampaikan komitmen FoLU Net Carbon Sink di 2030, 9 tahun lagi! Ikut aktif menjaga atmosfer bumi agar suhunya tidak naik.

Pengelolaan Sumber Daya Alam/Hutan, Belajar dari Fase-Fase Kurva Kuznets

Sumber daya alam-SDA adalah modal pembangunan sebuah negara. Roda perjalanan setiap negara senantiasa melewati masa pra industri, industri, dan pasca industri. Fase pra industri ditandai dengan rendahnya kegiatan perekonomian serta basis ekonomi pada sektor pertanian. Pada fase ini kerusakan lingkungan masih rendah karena aktivitas ekonomi cenderung rendah.

Fase industri ditandai dengan meningkatnya perekonomian dan beralihnya struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri. Kegiatan-kegiatan industri diakui menyumbangkan emisi tinggi. Sejak tahun 1784 revolusi industri dimulai industri 1.0 (mekanisasi, tenaga uap, alat tenun), kemudian tahun 1870 teknologi baru mulai dikembangkan bergerak ke produksi masal, energi listrik, perakitan. Pada tahun 1969 industri mulai dengan teknologi otomatisasi, komputerisasi, dan elektronik. Hari ini, industri telah maju menjadi sistem fisik siber, internet, dan jaringan yang saling terhubung.

 

Kurva Kuznets, hubungan pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan
Sumber: Modifikasi Munasinghe, M. (1999). Is Environmental Degradation an Inevitable Consequence of Economic Growth : Tunneling Through the Environmental Kuznets Curve, 29, 89–109

Meningkatnya aktivitas ekonomi tersebut menyebabkan meningkatnya kerusakan lingkungan sampai ambang batas di atas kemampuan untuk membayar biaya konservasi lingkungan. Kerusakan lingkungan seperti meningkatnya gas rumah kaca-GRK yaitu gas karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), dan freon (SF6, HFC dan PFC).

Kerusakan ini termasuk deforestasi dan degradasi hutan. Pada fase industri, kerusakan lingkungan berada pada tahap paling tinggi. Siapakah yang menyumbang saat itu? Negara-negara maju saat ini!

Revolusi Industri Eropa tahun 1750an hingga 1850an.
Kredit gambar: https://id.quora.com

Setelah fase itu kerusakan lingkungan akan mulai menurun. Penurunan kerusakan lingkungan menandai bahwa perekonomian telah memasuki fase pasca industri. Penurunan kerusakan lingkungan ini adalah implikasi dari adopsi teknologi dalam perekonomian sehingga membuat aktivitas perekonomian menjadi lebih ramah lingkungan. Kurva Kuznets menjelaskan tersebut.

Dapat dipahami bahwa proses pertumbuhan ekonomi hingga menjadi negara maju memerlukan tidak kurang dari 1,5 abad atau 150 tahun! Indonesia merdeka tahun 1945 sampai saat ini baru berusia 76 tahun 17 Agustus 2021 kemarin baru merayakan ulang tahunnya yang ke-76, sedang masa-masa membangun negaranya. Wajar apabila tahapan pembangunan yang dilalui masih berada pada penggunaan SDAnya.

Ada satu pesan penting kurva Kuznets, jangan sampai penggunaan SDA tersebut berlebihan melebih batas aman, karena tidak akan dapat pulih (irreversible)! Contoh konkrit kerusakan abadi lingkungan adalah penggurunan (desertification). Lalu apa dan kapan tanda-tanda tidak dapat pulih ini? Ketika benih tidak dapat tumbuh lagi, tanda-tanda kerusakan permanen tanah media tumbuh. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang pesat tentang ini.

Mengapa Hutan Dipercaya Dapat Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca CO2? 

GRK diyakini menjadi unsur pemanas atmosfer bumi. Dan jangan lupa, bumi juga memerlukan tingkat panas tertentu, agar tidak terjadi seperti zaman es. Saintis menyatakan bahwa kenaikan suhu aman bumi adalah 1,5oC untuk memelihara kehidupan bumi. Sehingga kita juga harus menjaga hangatnya atmosfer bumi. Lebih dari 1,5oC, itulah yang diyakini sebagai perubahan iklim, membahayakan dan berisiko bagi kehidupan manusia bumi; iklim ekstrem dan bencana hidrometeorologi serta segala dampaknya seperti krisis pangan.

Hutan menjadi mesin penyerap GRK-CO2. Prinsipnya secara sederhana adalah proses fotosintesis. Tumbuhan memanfaatkan karbondioksida-CO2 untuk membentuk gula/pati dan Oksigen-O2. Hutan adalah kumpulan vegetasi tumbuhan-pepohonan yang secara ekologis saling terhubung. Inilah kemudian mengapa hutan menjadi penting dalam menyerap CO2 yang dihasilkan dari proses pembakaran senyawa gula/pati. Pembakaran senyawa gula (C6H12O6) dengan oksigen menghasilkan senyawa karbon dioksida (CO2) dan senyawa air (H2O). Aktifitasnya antara lain respirasi/pernafasan, pembakaran, dekomposisi biomasa; dari sektor transportasi, pembakaran biomasa, pembusukan biomasa dan lain-lain.

Mengukur berapa CO2 yang diserap cukup rumit, perlu memahami proses-proses kimia serta menimbang berat unsur kimia tersebut. Bukan hal sederhana bagi orang awam. Kemudian bagaimana pendekatan kasatnya? Para ilmuwan mendekati ini dengan equivalen-kesetaraan dengan kandungan karbon-C suatu biomasa hutan (stok karbon hutan), yang dikenal dengan CO2eq. Biomasa hutan ini seperti kayu, ranting, serasah dan lain-lain. Sehingga, hutan menjadi kolam karbon yang diekuivalenkan dengan serapan GRK-CO2. Demikian kira-kira cara berpikir untuk memahami secara mudah.

Lalu mengapa deforestasi didesain menjadi ukuran sumbangan emisi GRK? Secara umum, deforestasi adalah pengurangan pepohonan di atas tanah, sehingga secara makro akan mengurangi kemampuan menyerap GRK-karbondioksida. Seringkali terjadi pemutarbalikkan isu, mengapa hutan sebagai “penyerap karbon” justru diterjemahkan menjadi “kontributor emisi GRK”? Aktor-aktor perubahan iklim piawai memainkan isu ini, memperjuangkan kepentingan dibaliknya. Mari kita baca lagi Paris Agreement yang telah disepakati Para Pihak Ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim. Dokumen Paris Agreement dapat diunduh di sini.

Forestry and Other Land Use-FoLU NET Carbon Sink, Penyerapan Karbon Bersih 2030 Indonesia

Dunia, Para Pihak – menyepakati menjaga suhu atmosfer bumi tidak lebih dari 1,5oC sejak pra industri, dengan prinsip “equity” dan “common but differentiated responsibilities and respective capabilities” antara negara maju, negara berkembang, negara terbelakang, dan negara rentan perubahan iklim. Indonesia sebagai negara berkembang – meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim-UNFCCC dan Paris Agreement mengurangi emisi GRK. Kurang lebih 195 negara telah meratifikasi Konvensi ini, termasuk Indonesia. Indonesia juga berkomitmen mengurangi emisi 29% dengan program-program rutin-Business as Usual, atau 41% dengan bantuan internasional.

 

Delegasi Indonesia dikomandani Presiden RI menyampaikan upaya-upaya penurunan emisi Indonesia. 
Kredit gambar: Krisdianto-Delegasi BSILHK di COP 26 Glasgow

 Saat ini sedang berlangsung negosiasi perubahan iklim – Pertemuan Para Pihak COP UNFCCC 26 tahun 2021 yang diselenggarakan di Glasgow-UK. Indonesia menyampaikan janji (pledge) menargetkan penyerapan karbon secara bersih di tahun 2030. Secara sederhana antara emisi yang dikeluarkan dengan emisi yang diserap, sama, bersih! Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan pembaruan-pembaruan tata kelola lingkungan dan kecukupan kanopi hutan. Mengejar implikasi kegiatan ekonomi seminimal mungkin terhadap dampak lingkungan. Melakukan koreksi di sana-sini, menerbitkan regulasi cipta kerja-usaha dan investasi, melakukan reformasi lingkungan dengan penguatan-penguatan standardisasi lingkungan hidup dan kehutanan.

Pemerintah Indonesia sedang mulai mengakselerasi ekonominya melalui Undang-Undang Cipta Kerja, membuka kran investasi dan usaha; salah satunya di sektor kehutanan. Bersamaan dengan itu, pengendalian lingkungan pun ikut diketatkan, melalui penguatan standardisasi lingkungan. Lembaga Badan Standardisasi Instrumen lingkungan hidup dan kehutanan telah dibentuk untuk mengawal pengetatan pengendalian tersebut. Badan ini mengawal pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim sebagai backbone menuju ekonomi hijau.

Baca juga: Standar Instrumen Dorong Multi Produk dan Multi Bisnis dari Kawasan Hutan dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Rencana Kehutanan tingkat Nasional (RKTN) sampai dengan tahun 2030 menargetkan arahan kawasan konservasi seluas 26,42 juta hektar, sedangkan kawasan konservasi yang perlu dilakukan rehabilitasi seluas 1 juta hektar menjadi prioritas rehabilitasi.

Luas total arahan kawasan hutan alam dan ekosistem gambut mencapai 41 juta hektar. Tujuan utama dari kawasan ini diarahkan untuk melindungi ekosistem hutan alam dan gambut serta penyediaan karbon. Dari luasan tersebut seluas 6,59 juta hektar (16,32%) merupakan ekosistem gambut. Dengan asumsi bahwa 1 (satu) hektar hutan alam berpotensi menyimpan 254ton karbon-C dan 1 (satu) hektar lahan gambut dapat menyimpan 3.500ton karbon, maka potensi penyimpanan karbon secara keseluruhan mencapai 31,65 milyar ton karbon yang meliputi hutan alam 8,59 milyar ton karbon dan lahan ekosistem gambut 23,06 milyar ton karbon.

Selain itu, dari luas lahan kritis dan sangat kritis pada kawasan hutan seluas 8,3 juta hektar, arahan kawasan menjadi prioritas rehabilitasi sampai dengan tahun 2030 seluas 3,96 juta hektar. Setiap tahun minimal 396 ribu hektar areal harus dapat terehabilitasi. Dengan asumsi dalam 1 (satu) hektar terdapat 1.650 batang pohon, maka jumlah total pohon yang akan ditanam sampai dengan tahun 2030 mencapai 6,53 milyar batang pohon. Pada tahun 2030 jumlah total karbon yang dapat terserap sebanyak 0,55 milyar ton karbon, dengan asumsi 1 (satu) hektar kawasan hasil rehabilitasi dapat menyerap 140ton karbon.

Skenario optimasi kawasan hutan, sampai dengan tahun 2030 terdapat lebih kurang 35,95 juta hektar dialokasikan untuk pemanfaatan hutan berbasis korporasi. Sampai dengan tahun 2030 ditargetkan pembangunan hutan tanaman industri kurang lebih 10 juta hektar. Skenario optimasi kawasan hutan, sampai dengan tahun 2030 terdapat ± 12,74 juta hektar untuk pemanfaatan hutan berbasis masyarakat.

Dalam RKTN juga dijabarkan sampai dengan tahun 2030 optimasi kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan sektor non kehutanan, dialokasikan seluas 13,07 juta hektar. Alokasi kawasan hutan tersebut ditujukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta kebutuhan masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan, dengan tetap mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.

Prinsip-prinsip keseimbangan seperti gender balance terbuka luas, mengupayakan secara progresif untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan pengelolaan lingkungan dan hutan. Perempuan merupakan entitas rentan terhadap perubahan iklim. Dalam momentum COP UNFCCC 26 2021 Paviliun Indonesia isu ini menjadi perhatian publik.

Baca juga: Standar LHK Membuka Luas Peran dan Perlindungan Perempuan

Di tengah-tengah tuntutan pembangunan ekonomi, desakan ketersediaan teknologi, peningkatan kesejahteraan penduduknya dan kapasitas SDM; Indonesia secara sukarela mendedikasikan mengurangi emisinya kepada dunia menyampaikan komitmen FoLU Net Carbon Sink di 2030, 9 tahun lagi. Komitmen Indonesia untuk menjaga atmosfer global!

Penangung jawab: Sekretaris Badan Standardisasi Instrumen LHK
Penulis: Chief Editor Media BSILHK - Kepala Bagian Program, Evaluasi, Hukum, dan Kerja Sama Teknik - Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan-BSILHK
Bagikan Berita / Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *