Pentingnya Standar LHK Mengawal Konvensi Minamata

“Mengawal target pengurangan dan penghapusan merkuri membutuhkan mekanisme pemantauan berkala dan komprehensif sebagai salah satu elemen kunci keberhasilannya. Peran standar sangat dibutuhkan dalam proses itu, baik standar-standar perizinan berusaha, standar metode pengukuran dan pengambilan sampel, serta pengelolaan limbahnya.”

 [BSILHK]_Konvensi Minamata tentang Merkuri yang disepakati pada 2013 lalu mempunyai agenda besar, yakni melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahaya merkuri, baik dari emisi dan pelepasan merkuri, serta senyawa merkuri yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.  Konvensi ini menjadi tonggak perjuangan global untuk menghapus penggunaan merkuri, agar sejarah kelam tragedi Minamata tidak akan pernah terulang kembali.

Indonesia berkomitmen dan mengambil peran untuk mewujudkan agenda dunia tersebut. Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Minamata, menetapkan sejumlah target, dan melaksanakan rencana aksi. Pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM), dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 81 Tahun 2019 yang mengatur pelaksanaan Perpres tersebut.

Mengawal target pengurangan dan penghapusan merkuri tersebut tentu membutuhkan upaya holistik. Berbagai aspek mulai dari kebijakan, program, kegiatan, sampai pengendalian perizinan dan monitoringnya menjadi kesatuan aksi yang berkontribusi pada pencapaian target konvensi. Lantas, bagaimana peran standardisasi LHK dalam upaya tersebut?

Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK), yang mendapat mandat dalam bidang standardisasi LHK, memegang peran utama menyediakan standar-standar untuk mengendalikan kegiatan atau usaha yang berdampak pada lingkungan dan kesehatan manusia. Hal ini disampaikan oleh Ary Sudijanto, Kepala BSILHK saat menyampaikan sambutan kunci pada webinar “Engaging the Artisanal and Small-scale Gold Mining (ASGM) and Coal Energy Sector Towards a Mercury-Free Indonesia”, secara daring pada Jumat (11/3) dalam pre-COP online side events of the COP-4 Minamata Convention on Mercury.

“Kami memastikan bahwa penerapan standar tersebut akan diinternalisasikan pada setiap izin usaha,” tegas orang nomor satu di BSILHK ini.

Dalam sambutan kuncinya berjudul “Emerging Standardization in Achieving a Mercury-Free Indonesia”, Ary menjelaskan bahwa dalam penerapan standar tersebut, misalnya di sektor pertambangan seperti ASGM, skema formalisasi menjadi faktor koreksi awal di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, legalitasnya berupa penetapan Wilayah Usaha Pertambangan Rakyat (WUPR) yang dilengkapi dengan Environmental Safeguard berupa Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Sementara di tingkat proyek, aspek legal penambang berupa Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang Environmental Safeguardnya berupa Upaya Pengelolaan Lingkungan- Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), sebagai salah satu kelengkapan untuk memperoleh IPR.

Lebih lanjut dijelaskan Ary bahwa peran BSILHK dalam hal ini adalah menyiapkan standar-standar di dalam sistem perizinan berusaha.  Bagi unit usaha pertambangan rakyat tanpa kewajiban unit pengolahan ditetapkan tingkat risiko usahanyanya menengah-rendah. Sementara pada penambangan dengan kewajiban unit pengolahan ditetapkan sebagai usaha dengan tingkat risiko menengah-tinggi.

Bagi usaha-usaha dengan tingkat risiko menengah, BSILHK akan menyiapkan standar-standar pengelolaan lingkungannya. Standar-standar tersebut menjadi bagian dari sistem perizinan sehingga menjadi panduan untuk pengawasan dan penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran. Sementara untuk sektor PLTU batubara, BSILHK berperan melakukan monitoring kualitas lingkungan dan uji penerapan standar, termasuk membangun standar pengelolaan limbahnya.

Dalam rangka pengendalian penggunaan merkuri, pengembangan regulasi dan standar nasional terkait merkuri di berbagai media terus dilakukan untuk parameter total merkuri, elemental merkuri, dan metil merkuri. Medianya meliputi berbagai sumber emisi, udara ambien, tanah, limbah padat, limbah permukaan, air limbah, sedimen, biota, serta biota dan biomarker.

Ary menegaskan bahwa standardisasi merkuri akan menjadi instrumen penting untuk mengawal target Indonesia bebas merkuri. Standarisasi ini tidak akan terbatas hanya pada standar pengukuran pada berbagai media dan juga parameternya, standar pengelolaan juga akan dikembangkan seperti penimbunan, penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan limbah merkuri.

Selanjutnya, untuk mengantisipasi tantangan pencemaran merkuri ke depan, Kementerian LHK melalui BSILHK telah membangun Laboratorium Merkuri dan Metrologi Lingkungan pada 2021.  Laboratorium ini berlokasi di Kampus Puspiptek Serpong dan berada di bawah pengelolaan Pusat Standardisasi Instrumen Kualitas Lingkungan Hidup (PSIKLH).

“Fasilitas ini mendukung program pengurangan dan penghapusan merkuri melalui pengujian dan penelitian. Ke depan, laboratorium ini akan menjadi salah satu “center of excellence merkuri”, tidak hanya di kawasan Asia Tenggara tetapi juga di Asia Pasifik. Harapannya, dengan berbagai upaya holistik yang telah dan akan dilakukan, Indonesia bisa bebas merkuri pada 2030,” pungkas Ary.

Pemantauan: Elemen Kunci Pengurangan Merkuri

Mempresentasikan “Monitoring of Mercury Pollution from ASGM Sector in Indonesia”, Fitri Yola Amandita, peneliti pada PSIKLH yang menjadi salah satu pembicara pada webinar ini, menjelaskan bahwa pemantauan berkala dan komprehensif adalah salah satu elemen kunci dalam upaya mengurangi merkuri pada 4 sektor prioritas, termasuk ASGM. Sebagai konsekuensinya, ketersediaan standar operasional prosedur nasional untuk pengambilan sampel dan pengujian merkuri menjadi sangat penting termasuk standar pengelolaan limbahnya.

PSIKLH telah melakukan pemantauan merkuri sejak tahun 1990-an. Fokusnya pada emisi merkuri dari ASGM dan melakukan studi tentang paparan merkuri pada penambang emas rakyat, serta bagaimana kegiatan penambangan mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat penambang.

Keberadaan Laboratorium Merkuri di PSIKLH sangat mendukung upaya pemantauan merkuri tersebut. Hal ini karena laboratorium dilengkapi dengan peralatan yang handal untuk analisis merkuri pada sampel udara, air, tanah, sedimen, biota dan biomarker.

“PSIKLH tengah mempersiapkan metode yang dapat diverifikasi untuk pengukuran metil merkuri, yang sangat penting karena karakteristik toksisitas metil merkuri menjadikannya sebagai salah satu polutan yang paling berbahaya, “ungkap Fitri.

Lebih lanjut dijelaskan Fitri, bahwa untuk pengambilan sampel dan pengujian merkuri, telah tersedia standar nasional untuk sumber emisi, air permukaan, dan air limbah. Standar nasional untuk udara ambien juga sudah tersedia, namun pengesahannya menunggu terbitnya aturan ambang batas.  Sementara untuk media lainnya yaitu tanah, limbah padat, sedimen, biota dan biomarker, standar pengambilan sampel dan pengujian mengacu pada standar internasional seperti USEPA dan APHA. Mengenai ambang batas nasional, paparan merkuri ke berbagai media lingkungan telah diatur secara nasional kecuali sedimen, biota dan biomarker. PSILHK dalam hal ini bertugas mengembangkan standar yang belum tersedia tersebut.

Untuk kegiatan pemantauan merkuri di Indonesia ke depan, PSIKLH merekomendasikan 3 strategi, yaitu 1) koordinasi antar pemangku kepentingan terkait, terutama dalam rangka pendataan emisi merkuri dan limbah merkuri; 2) kerjasama dengan kementerian terkait untuk mengembangkan Standar Nasional Indonesia untuk pengambilan sampel dan pengujian merkuri; 3) gotong royong dengan lembaga internasional untuk alih ilmu atau teknologi guna memperkaya kapasitas PSIKLH dalam pengembangan standar metode.

Pengendalian Pencemaran Merkuri pada PLTU Batubara

Pemberlakuan standar emisi merkuri bagi kegiatan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Kadar maksimum Hg yang diperkenankan dari PLTU batubara adalah sebesar 0,03 mg/Nm3, baik pada PLTU yang dibangun atau beroperasi sebelum dan sesudah peraturan ini berlaku.

Berdasarkan peraturan tersebut, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pembangkit listrik tenaga termal, wajib melakukan pemantauan emisi dalam memenuhi ketentuan baku mutu emisi.  Pemantauan terhadap sumber emisi tersebut, wajib menggunakan Sistem Pemantauan Emisi secara terus-menerus (Continuous Emissions Monitoring System/CEMS). Khusus pada PLTU, CEMS yang digunakan harus memiliki spesifikasi memantau dan mengukur Merkuri (Hg) dan Karbondioksida (CO2).

Mempresentasikan “Mercury Pollution Control of PLN’s Coal Fired Power Plant (CFPP)”, Ajrun Karim, Vice President Lingkungan PT PLN (Persero), salah satu pembicara webinar, menjelaskan bahwa semua CEMS (Multigas SOx, NOx Particulate) sudah terpasang di CFPP milik PT.PLN.  Merkuri CEMS saat ini terpasang di 3 PLTU (Paiton 1&2, BSLA dan Rembang), sedangkan pada PLTU lainnya sedang dalam proses pengadaan.

Lebih lanjut Ajrun menjelaskan bahwa laporan CEMS per Februari 2022 menunjukkan semua catatan pemantauan merkuri pada 3 PLTU tersebut berada di bawah ambang batas yang dinyatakan dalam Peraturan Menteri LHK 15/2019, yakni di bawah 0,03 mg/Nm3.  Dengan pengukuran sampel secara manual pada seluruh PLTU, data pada 2019-2021 juga menunjukkan parameter merkuri berada di bawah ambang batas yang ditetapkan.

 Untuk mendukung target Indonesia dalam karbon netral 2060, PT PLN akan menghentikan pembangunan pembangkit batubara pada 2025 mendatang.  Sebagai penggantinya adalah pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Menurut Ajrun, PLN terus berkomitmen untuk mematuhi semua peraturan lingkungan yang ditetapkan pemerintah, dan berusaha mencapai lebih dari itu.  Ini juga ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah unit PLN yang menjadi peserta PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungannya), serta terus membaiknya kinerja pengelolaan lingkungan PLN sejak 2016 sampai saat ini.

Webinar “Engaging the Artisanal and Small-scale Gold Mining (ASGM) and Coal Energy Sector Towards a Mercury-Free Indonesia”, dipandu oleh moderator Rina Aprishanty, Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan di PSIKL.  Webinar ini diselenggarakan secara combined event bersama dengan Gold Ismia yang membahas tentang pembelajaran penerapan teknologi alternatif untuk bebas merkuri dan pengarusutamaan gender di sektor ASGM.

Acara yang diselenggarakan dengan platform WebEx ini dihadiri oleh sekitar 80 peserta dari berbagai negara antara lain Australia, Myamnar, Nigeria, dan Austria. Webinar juga disiarkan langsung melalui platform Youtube Minamata Convention on Mercury yang telah ditonton sebanyak 129 kali sampai saat ini.*(DP)

Penulis: Dyah Puspasari
Editor: Yayuk Siswiyanti

Bagikan Berita / Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *