Standar LHK Membuka Luas Peran dan Perlindungan Perempuan

Standar LHK Membuka Luas Peran dan Perlindungan Perempuan

Kontribusi perempuan pada kenyataannya sangat signifikan di tingkat tapak. Karenanya, kebijakan yang responsif gender pada semua sektor, termasuk lingkungan hidup dan kehutanan (LHK), harus diperkuat. Indikator yang sensitif gender perlu dibangun dan menjadi bagian dalam standar-standar LHK. Ini akan membuka luas peran dan perlindungan perempuan untuk berkontribusi dalam pembangunan.

___

[BSILHK]_Dengan prinsip no one left behind atau tidak ada satu pun yang tertinggal, maka kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan menjadi salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yang harus dicapai. Targetnya, tidak hanya membuka luas peran perempuan dalam pembangunan, melainkan juga di saat yang sama melindungi perempuan dalam melaksanakan tugasnya.

Usaha-usaha kehutanan diketahui memiliki dampak pada lingkungan yang secara langsung berdampak pada perempuan. Misalnya, jika terjadi kasus air bersih tercemar limbah, maka perempuan tidak dapat menggunakan air tersebut untuk kegiatan rumah tangga. Tidak hanya akses terhadap air bersih yang terganggu, risiko tercemarnya makanan juga dapat terjadi yang dapat berakibat anggota keluarga terpapar zat berbahaya. Keberadaan standar-standar LHK tentunya diharapkan dapat mampu melindungi perempuan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

Gender memang bukan hanya urusan perempuan. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa peran perempuan terus berkembang, tidak lagi hanya di ruang domestik melainkan meluas di ruang publik. Kontribusinya sangat signifikan pada semua sektor, sehingga harus dihargai, diperhitungkan, dan diukur oleh pemerintah.

Oleh karena itu, pengarusutamaan gender dalam pengelolaan LHK memegang peran strategis. Laki-laki dan perempuan memiliki peran masing-masing dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Keseimbangan dan kesetaraan peran keduanya menjadi sangat penting agar dapat meminimalkan kesenjangan yang terjadi, baik dalam hal hak, tanggung jawab, akses dan penguasaan terhadap SDA, serta pengambilan keputusan dalam keluarga, di komunitas dan di tingkat nasional.

“Jangan sampai pengarusutamaan gender hanya di atas kertas saja, hanya secara campaign, gimmick saja, tapi harus benar-benar dilakukan di lapangan, on site,” tegas Dr. Titiek Setyawati, saat memoderatori talkshow bertema ”Belajar dari Tapak: Kontribusi Gender dalam Menguatkan Standar LHK” di Paviliun Indonesia COP26 UNFCCC (2/11).

Talkshow ini diinsiasi oleh Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK). Acara ini dalam rangka mendukung COP26 UNFCCC yang bertema Leading Climate Actions Together: Indonesia FOLU Net Sink 2030.

Dalam konvensi perubahan iklim dunia tersebut, perihal gender dan standar LHK dipandang sangat relevan diperbincangkan. Persoalan bagaimana gender berperan terdampak dari usaha-usaha kehutanan, perannya dalam menguatkan standar-standar LHK di lapangan, serta kontribusinya pada upaya-upaya pengendalian perubahan iklim sangat menarik didiskusikan dalam forum internasional tersebut.

Terdapat 4 topik yang dibahas oleh narasumber talkshow, yakni usaha kehutanan HHBK-bambu, agroforestri, kantor ramah lingkungan, serta standar verifikasi legalitas kayu. Keempat topik tersebut disampaikan oleh narasumber Desy Ekawati, S.Hut., M.Sc. (KANOPPI-2),  Aulia Perdana, M.Sc. (ICRAF), Priyo Kusumedi, S.Hut., M.P. (BP2TSTH Kuok),  dan Dr. Luluk Setyaningsih (Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa-Bogor).

Pembelajaran dari 4 topik ini menurut Titiek, adalah bahwa jangan sampai ada yang ditinggal untuk mencapai SDGs. Kebijakan yang responsif gender pada semua sektor, termasuk sektor LHK harus diperkuat. Indikator yang sensitif gender perlu dibangun dan menjadi bagian dalam standar-standar LHK untuk pencapaian SDGs tersebut.

Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat menguatkan implementasi responsif gender di tingkat tapak hingga nasional, serta direkognisi rekonisi semua pihak. Harapannya, bahwa isu gender ke depan mestinya bukan lagi isu, karena sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Gender dalam Pengelolaan Bambu Lestari

Sebuah pembelajaran peran gender di tingkat tapak dikisahkan oleh Desy Ekawati, S.Hut., M.Sc. project coordinator KANOPPI-2, sebagai narasumber pertama talkshow. Dari studi pengelolaan hutan bambu lestari (HBL) berbasis masyarakat di Sa’o Neguwula, Kabupaten Ngadha, NTT, diketahui bahwa relasi gender yang berjalan di sana bersifat relatif setara.

Selain menganut sistem matrilineal dalam keluarga, alokasi waktu bekerja perempuan juga dua kali lebih banyak daripada waktu istirahatnya. Perempuan tidak hanya melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi juga kegiatan komersial. Namun demikian, dalam pertemuan suku setiap awal tahun, hanya pria yang boleh bicara.

Perubahan relasi gender terjadi di Sa’o Neguwula melalui program pembibitan bambu keluarga. Perempuan menjadi tokoh kunci dalam pembibitan. Pembibitan ini sebenarnya adalah hal yang baru, sebelumnya tidak ada budaya bagi masyarakat di sana untuk menanam bambu, karena itu merupakan warisan leluhur.

Terkait standar, lebih lanjut Desy menjelaskan bahwa pengelolaan HBL di Sa’o Neguwula sudah menerapkan 12 tahapan. Dalam setiap tahapan tersebut, unsur gender termasuk di dalamnya.

Dalam konteks pengendalian perubahan iklim, para ibu yang terlibat dalam program pembibitan untuk pengelolaan HBL juga turut berkontribusi. Melalui kebun bibit bambunya, mereka secara langsung telah melakukan aksi memperbaiki dan menjaga lingkungan dengan mendukung kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan bibit-bibit bambu berkualitas.

Unduh materi: Peran Gender dalam Usaha Kehutanan Hasil Hutan Bukan Kayu – Bambu

Mengapa Modal Sosial Gender Penting?

Aulia Perdana, M.Sc. peneliti dari ICRAF, sebagai narasumber kedua talkshow, menjelaskan tentang modal sosial gender dari sistem agroforestri untuk pengendalian perubahan iklim. Modal sosial gender ini menjadi penting karena pengambilan keputusan terbagi atas gender. Keputusan dalam hal akses, penggunaan, pengendalian, dan kepemilikan pada berbagai aspek seperti informasi, aset, lahan, pasar, teknologi, pendidikan, dan lain-lain.

Meski banyak laki-laki dan perempuan bergantung pada hutan, agroforestri, dan pohon untuk mata pencarian mereka, namun ada ketidaksetaraan yang signifikan pada peran, hak, dan tanggung jawab. Padahal menurut studi di Indonesia, menunjukkan perempuan justru lebih aktif dan dinamis dalam menangapi peluang eksternal yang membentuk pemanfaatan bentang lahan.

Studi empiris lainnya menunjukkan hambatan dalam penyampaian informasi dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga, ada dan nyata kalau yang hadir atau selalu hadir dalam suatu kegiatan, pelatihan misalnya, hanyalah salah satu saja, kaum laki-laki atau perempuan saja.

Perubahan iklim yang sangat nyata terjadi saat ini, menurut Aulia, membuat isu gender mempengaruhi perubahan yang dilakukan siapa pun. Baik itu perubahan yang berhubungan dengan pertanian, kehutanan, agroforestri dengan praktik-praktik yang dilakukan para pemangku kepentingan.

Terkait perubahan iklim tesebut, peneliti senior di ICRAF ini melihat pentingnya untuk bisa mengindetifikasi kerentanan, termasuk dari faktor ‘shock’, yang berada di luar kendali pemangku kepentingan. Untuk penilaian kerentanan terhadap perubahan iklim disarankannya untuk difokuskan pada 3 aspek. Ketiganya mencakup ketangkasan (agility), ketangguhan (resilience), dan kemampuan beradaptasi (adaptability) dari semua unsur yang terpapar, mulai dari individu, rumah tangga, masyarakat desa, masyarakat yang lebih luas hingga bangsa. Di sinilah modal sosial bicara, sehingga isu gender akan lebih terbuka.

Unduh materi: Modal Sosial Gender dari Sistem Agroforestri untuk Pengendalian Perubahan Iklim

Kantor Ramah Lingkungan dalam Perspektif Gender

Topik gender berikutnya yang diperbincangkan adalah kantor ramah lingkungan. Narasumber ketiga, Priyo Kusumedi, S.Hut., M.P., Kepala BP2TSTH Kuok, membagikan kisahnya bagaimana perspektif gender menjadi salah satu dasar pengembangan kantor ramah lingkungan di balainya.

Menurut Priyo, dari 7 prasyarat pengarusutamaan gender (PUG) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK 31/2017, komitmen pimpinan dan staf memegang peranan sangat penting. Komitmen tersebut menjadi faktor pemungkin berjalan dan berlanjutnya program yang ditetapkan.  Hal berikutnya yang tak kalah penting adalah inovasi, baik dalam hal layanan maupun kegiatan.

Di level tapak, yakni di kantor, responsif gender dimulai dari penataan staf. Di kawasan KHDTK yang rawan konflik, tidak akan menempatkan perempuan di sana. Demikian pula pegawai yang sakit fisik dan juga wanita hamil tidak ditempatkan di lantai 2. Secara periodik kelompok kerja PUG ditetapkan dibalai untuk melakukan antara lain identifikasi kegiatan, menyusun Gender Analysis Pathway (GAP) dan Gender Budget Statement (GBS), menyusun data terpilah gender, menyediakan sarana dan prasarana responsif gender.

Kini saat berkunjung ke kantor BP2TSH Kuok, maka nuansa ramah lingkungan sangat terasa. Tidak hanya perspektif gender yang mewarnai, sarana ramah anak dan ramah disabilitas juga telah tersedia.  Beberapa sarana tersebut antara lain ruang laktasi, toilet terpisah laki-laki dan perempuan, sarana ramah difabel, ruang rapat outdoor yang memenuhi protokol kesehatan Covid-19, Eco Bee Park dan Taman Trigona sebagai sarana pembelajaran tentang perlebahan, ruang bermain anak, dan sarana pembelajaran ilmiah pohon dengan aplikasi Si Kepo (kenali pohon).

Inovasi kegiatan yang responsif gender selain kegiatan rutin di dalam pengelolaan KHDTK Kepau Jaya, BP2TSTH Kuok bermitra dengan Dinas Ketahanan Pangan Kab. Kampar, PT PLN UIP Sumatera Bagian Tengah, UMKM Dapur Aru, KWT Kabupaten Kampar melakukan kegiatan peningkatan ketahanan pangan masyarakat. Kegiatan ini menyasar Kelompok Wanita Tani (KWT) di Kabupaten Kampar.  BP2TSTH Kuok dengan para mitra memberikan pelatihan budidaya kelor, pengolahan pasca panen dan pembuatan produk berbahan dasar kelor, termasuk pendampingannya.

Unduh materi: Pengembangan Kantor Ramah Lingkungan dalam Perspektif Gender

SVLK dalam Perspektif Gender

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang selanjutnya disebut SVLK adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu melalui sertifikasi penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), sertifikasi legalitas kayu, dan deklarasi kesesuaian pemasok (Permenhut P 43 /Menhut II /Tahun 2014).

Peran perempuan dalam SVLK, dipaparkan oleh Dr. Luluk Setyaningsih dari Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa-Bogor, sebagai narasumber keempat. Menurutnya perempuan berpartisipasi sebagai regulator, negosiator, auditor, auditee, independent, dan juga pendidik dalam SLVK.  Meskipun isu ketidaksetaraan baik dalam hal jumlah, perlakuan diskriminatif, bekerja melebihi batas waktu, keterbatasan kompetensi dan rekognisi masih dihadapi.

Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, Luluk menyampaikan beberapa usulan. Pertama meningkatkan SDM SVLK mulai dari regulator sampai pendidik yang unggul, baik kuantitas, kompetensi, dan juga rekognisi.  Ini harus dimulai dari aksi di lapangan sampai regulasinya harus dibuat.

Khusus dari sisi auditee, yang faktanya cukup banyak dalam industri pengolahan kayu, Luluk mengusulkan untuk mempertimbangkan penambahan indikator dalam Standar SVLK.  Penambahan itu terutama tentang “pemenuhan 5 hak Pekerja Perempuan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (cuti menstruasi, cuti hamil dan melahirkan, perlindungan selama hamil, hak biaya persalinan, cuti karena keguguran, hak menyusui atau memerah susu, larangan PHK karena menikah, hamil dan melahirkan, hak fasilitas khusus pada jam kerja tertentu).

Dari sisi sosial budaya, Luluk menggarisbawahinya agar jangan dilupakan. Hal ini karena SVLK bukan hanya milik KLHK dan pelaku industri, melainkan milik semua. Oleh karena itu, harus dipastikan agar budaya legal perlu disosialisasikan untuk dimiliki oleh siapa pun, muda dewasa, pelajar, mahasiswa, praktisi, dan tak terkecuali perempuan harus bisa menumbuhkan budaya ini.  Harapannya dari grassroot sampai atas, akan ada afirmasi terhadap kesetaraan gender.

Unduh materi: SVLK dalam Perspektif Gender

Talkshow”Belajar dari Tapak: Kontribusi Gender dalam Menguatkan Standar LHK” di Paviliun Indonesia COP26 UNFCCC diselenggarakan secara kombinasi faktual dan virtual.  Sebanyak 34 peserta hadir secara faktual sesual protokol kesehatan yang ditetapkan, dan lebih dari 200 peserta hadir secara virtual.  Acara ini dapat ditonton ulang melalui kanal Youtube BSILHK melalui tautan https://bit.ly/COP26-Talkshow-GenderStandar.*(DP&YS)

Bagikan Berita / Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *