
(BSILHK) – Standar Instrumen terintegrasi dan terkontrol menjadi hal krusial untuk mendorong geliat multi produk dan multi bisnis di sektor kehutanan dalam upaya mitigasi perubahan iklim pasca pengesahan UU Cipta Kerja. Hal tersebut diungkap dalam diskusi talkshow bertajuk ‘Forest Business Standardization: A Local Site Comparative Experiences In Meeting Commitments To Achieve Climate Change Targets’. Talkshow berlangsung pada Rabu, 3 November 2021 di Auditorium Sudjarwo dalam rangkaian kegiatan Paviliun Indonesia CoP 26 UNFCCC Glasgow – Jakarta.
“Banyak hal menunggu formulasi standar”, ujar Iman Santoso, wakil ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Iman menyampaikan bahwa Standar Instrumen (SI) sektor kehutanan diperlukan untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lingkungan, tidak hanya produksi tapi juga untuk mitigasi perubahan Iklim (PI).
“Sustainable landscape not only production but also to mitigate climate change”, tegas Iman.
Dalam konteks perubahan iklim dan mendukung pogram Mitigation plan toward net sink FOLU 2030, peran standar instrumen (SI) sangat signifikan. Diantaranya sebagai kriteria dan indikator dalam reduksi deforestasi dan degradasi baik di lahan kering atau lahan gambut; percepatan pembentukan hutan tanaman; sustainable forests management; rehabilitasi dengan/tanpa rotasi; restorasi gambut; perbaikan pengelolaan air; konservasi keanekaragaman hayati; dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam konteks produksi dengan pendekatan sosial-ekonomi-ekologi yang akan menghasilkan peluang multi bisnis dan multi produk dari kawasan hutan, standar diperlukan untuk memastikan daya saing produk dan penerimaan pasar. Disampaikan masing-masing tapak memiliki karakter unik, satu berbeda dengan yang lain. Pakar kebijakan pengelolaan sumberdaya alam mengatakan bahwa alam merupakan kontruksi manusia; ada relasi historikal-sosial budaya-ekonomi dan hubungan antropologis dengan alam. Dalam hal ini Badan Standardisasi Instrumen LHK diharapkan tidak membuat standar yang rigid agar dapat dikembangkan pada level tapak. Jelas Iman salah satu narsumber talkshow.
Talkshow yang dimoderatori Adi Susmianto, Widyaiswara pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan SDM LHK dan di hadiri 6 narasumber yaitu dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI); Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim BSILHK; Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; PT. Kutai Timber Indonesia; PT. Danone Indonesia; dan LMDH Bukit Amanah Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Kirsfianti L. Ginoga, Kepala Pusat Standarisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim – BSILHK, mengungkapkan bahwa reformasi struktural merupakan alat untuk pengembangan standarisasi instrumen LHK. Yaitu dengan terbentuknya Badan Standardisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Perpres No. 92/2020 dan Permen LHK No. 15/2021. Sedangkan dalam pengembangan standar diperlukan kolaborasi berbagai pihak, peningkatan kapasitas, kebijakan dan pengetahuan teknologi.
Sementara itu, Irfan Darliazi Yananto, narasumber dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengungkapkan konteks pembangunan ke depan yaitu pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim sebagai backbone menuju ekonomi hijau.
Lebih lanjut diungkapkan visi Indonesia Maju 2045 Indonesia yaitu keluar dari jebakan “middle income trap” dan mencapai target penurunan emisi sesuai Paris Agreement, dan mencapai net emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat. Strategi pembangunan didorong tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan tapi mendorong pertumbuhan ekonomi dengan rata-rata 6%.
Sejalan dengan hal tersebut, narasumber pelaku usaha bidang kehutanan mengungkapkan kontribusi positif bagi kelangsungan lingkungan hidup berkelanjutan, sosial dan ekonomi dengan multi produk dan multi busnis sejalan dengan program inisiatif konservasi dan pelibatan masyarakat. Sementara itu Lembaga Masyarakat Hutan Desa (LMDH) Bukit Amanah, membuktikan keterlibatan grass root dalam melakukan aksi adaptasi Perubahan Iklim. Melakukan pergeseran dari dari merusak hutan menjadi pro- lingkungan.
Penerapan standar seperti Hutan Produksi Lestari, Sertifikasi dan Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari hutan tropis untuk berbagai produk sektor kehutanan, pemanfaatan jasa lingkungan hutan untuk mendukung keberlanjutan produksi air minum, serta pemanfaatan lingkungan yang baik untuk beraneka aktifitas rekreasi alam oleh masyarakat sekitar hutan telah terbukti mampu berkontribusi positif bagi kelangsungan dua pihak, yaitu lingkungan hidup dan dunia usaha.
Standardisasi Instrumen Usaha Kehutanan
Indonesia saat ini sedang mengupayakan implementasi Omnibus Law untuk menciptakan iklim bisnis yang kondusif sejalan dengan upaya penyelamatan dan perlindungan kawasan hutan. Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau dikenal dengan Omnibus Law mendorong penyederhanaan prosedur izin usaha untuk menghasilkan investasi di Indonesia dengan mempertimbangkan 2 (dua) poin utama yaitu keberlanjutan dan nilai tambah dalam investasi sektor sumber daya alam.
Pembangunan standardisasi usaha kehutanan menjadi penting sebagai pemandu dalam pengendalian dampak dari kegiatan-kegiatan usaha kehutanan, yaitu menyeimbangkan aspek ekonomi, lingkungan dan sosial dalam kegiatan usaha dan pembangunan. Dengan pengendalian dampak usaha tersebut secara langsung dapat berperan dalam upaya memenuhi komitmen mencapai target perubahan iklim.
Penerapan standar dan instrumen oleh para pelaku usaha di bidang lingkungan hidup dan kehutanan akan lebih meningkatkan kepastian usaha dan insentif, sehingga dapat mengoptimalkan keuntungan usaha tanpa harus mengorbankan aspek lingkungan hidup seperti limbah beracun, gas rumah kaca, pemborosan energi maupun kerusakan ekologis.
Dengan kata lain, dengan penerapan standar pelaku usaha akan memperoleh jaminan bahwa usaha yang dilakukan sesuai dengan norma, peraturan dan teknologi yang digunakan dalam memantau kesesuaian usaha bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Hal ini akan menjadi insentif bagi pelaku usaha. Dengan kepastian dan insentif akan mendorong pelaku usaha untuk melakukan investasi dan kepatuhan dalam menerakan standar yang telah ditetapkan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) optimis mendukung kebijakan implementasi Omnibus Law tersebut khususnya dalam melakukan reformasi proses, standar dan prosedur dalam pengendalian dampak lingkungan dan perizinan berusaha menggunakan pendekatan berbasis risiko berdasarkan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
BSILHK didukung oleh sumber daya manusia yang profesional dan kompeten, laboratorium terakreditasi dan 15 unit pelaksana teknis di seluruh Indonesia menjadi bagian penting dalam reformasi struktural di Kementerian LHK yang berorientasi standar. Dalam Perpers 92/2020 dan Permen LHK 15/2021, BSILHK melakukan koordinasi perumusan, pengembangan, penerapan dan penilaian standar berwawasan lingkungan di semua sektor dan implementasinya, termasuk pengawasan agar standar diterapkan dengan tepat.
Dalam merumuskan dan mengembangkan standar dan instrumen, BSILHK berkomitmen akan menggunakan sains dan pengalaman tapak. Menginiasi peta jalan hijau standarisasi bagi hutan tropis; memperluas teknologi terbaru yang dikembangkan oleh perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan; serta melibatkan komitmen internasional terhadap platform wajib untuk menghasilkan insentif hijau dari implementasi standar.
Berita Terkait :
Standar LHK Membuka Luas Peran dan Perlindungan Perempuan
Standar untuk Kepastian Usaha dan Kelestarian Sumber Daya Alam
Mobilisasi Peran Birokrasi Standardisasi LHK di Tingkat Tapak
One Response
[…] Baca juga: Standar Instrumen Dorong Multi Produk dan Multi Bisnis dari Kawasan Hutan dalam Upaya Mitigasi Perub… […]