Mengejar Capaian FoLU Net Sink 2030 – Pemangku Tapak Bicara

Bekerja berkecimpung dengan lahan menghadapi tantangan dan dinamika yang tidak sederhana. Itulah yang dihadapi dalam upaya-upaya mengejar Net Sink 2030 dari sektor FOLU. Dua hal esensinya, menjaga hutan yang ada serta menanam lahan kritis. Caranya dapat beragam; mulai rehabilitasi, mengembangkan wisata alam, mengkreasi ekonomi masyarakat, juga mengelola hutan kemasyarakatan. Termasuk juga usaha-usaha untuk terus menjaga tetap menjadi arus utama – seperti di Indogreen Maret 2023 kali ini.

[BSILHK]_Carbon net sink dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya di Indonesia pada 2030 merupakan salah satu program prioritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Populer dengan istilah Indonesia’s Forestry and other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030, ini merupakan suatu kondisi di mana tingkat serapan karbon sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan sektor tersebut pada tahun 2030.

Tingkat emisi gas rumah kaca yang ditargetkan tercapai melalui program tersebut adalah sebesar minus 140 juta ton CO2 ekuivalen pada 2030. Visinya adalah mencapai net zero emission sektor kehutanan pada 2060 atau lebih cepat

Untuk mencapai itu, sekaligus mempercepat perubahan transformasional menuju pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim, KLHK mengembangkan lima program kerja. Program tersebut meliputi pengelolaan hutan berkelanjutan, peningkatan stok karbon hutan, konservasi hutan alam, pengelolaan lahan gambut, serta pembangunan instrumen dan informasi.

Standar FoLU Net Sink 2030

Standar sangat diperlukan sebagai instrumen untuk operasionalisasi FoLU Net Sink 2030 yang lebih terkonsolidasi dan terverifikasi. Standar menjadi pemandu dan pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam FoLU Net Sink 2030 tersebut.

Kehadiran standar akan meningkatkan percepatan implementasi mitigasi dan ketahanan iklim dari sektor hutan, dan penggunaan lahan lainnya secara kuat dalam hal data, metode dan sistem yang diukur, dilaporkan dan diverifikasi. Implementasinya sebagian besar berada di bawah tanggung jawab KLHK, yang juga sebagai pemangku kepentingan utama dalam urusan hutan dan lingkungan.

“Dalam upaya implementasi FoLU Net Sink 2030 tersebut, Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) merancang 10 standar dan 6 manual panduan,” ungkap Sekretaris BSILHK, Dr. Nur Sumedi, saat membuka talk show BSILHK dalam rangkaian 13th Indonesia Green Forestry and Environment Expo 2023, di Jogja Expo Center, Jumat (3/3/2023).

Menurut Nur, beberapa standar tersebut di antaranya adalah panduan konversi luasan ke volume CO2 ekuivalen secara tepat, validitas penghitungan emisi dan serapan karbon, hingga standar pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan aksi mitigasi Indonesia 2030.  Standar-standar tersebut sebagai pedoman umum bagi semua sektor dalam pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan perkembangan kegiatan, sesuai amanat Peraturan Menteri LHK No. 168 Tahun 2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim.

Menggali Kontribusi Tapak, Pemain Utama Carbon net sink

“Pemain utama dalam penurunan emisi ini adalah pengelola unit kelola terkecil di tapak. BSILHK sedang mendorong, bahwa Program FoLU Net Sink perlu segera diimplementasikan di level tapak, “lanjut Nur Sumedi.

Target-target mandatori seperti target volume ton CO2 menjadi target para pemangku pengelola tapak. BSILHK telah menyediakan standar perhitungan penurunan emisi, sehingga penurunan per hektar dapat dihitung. Saat ini, juga sedang dirumuskan standar teknologi silvikultur untuk penurunannya, yaitu menjawab ton CO2 per hektar yang diturunkan emisinya melalui silvikultur intensif.

Menggali kontribusi FoLU Net Sink oleh pemangku di tingkat tapak, dalam talk show bertema “Mengejar Capaian FOLU Net Sink 2030 melalui Standardisasi LHK “ dalam rangkaian acara Indogreen 2023, BSILHK menghadirkan para pelaku jasa wisata dan kemudahan berusaha sebagai bagian dalam sinergisitas sektor kehutanan dan industri yang mendukung kesuksesan FoLU Net Sink 2030 tersebut.

Terkait jasa wisata alam tersebut, Kepala Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Kehutanan (BBPSIK) Yogyakarta, Dwi Yoga Prabowo Suseno, Ph.D., dalam sambutan selamat datang pada talk show tersebut, menggarisbawahi bahwa pengembangan jasa wisata alam membutuhkan standardisasi terutama ketika jasa wisata tersebut dibangun pada kawasan yang berisiko terkait keamanan dan juga menarik investor.

Empat topik diperbincangkan dalam talk show tersebut. Pertama, Standar Restorasi Hutan Berbasis FoLU oleh Hamdan Adma Adi Nugraha, M.Sc., Penyuluh Kehutanan dari BBPSIK Yogyakarta. Kedua, Standar Tata Kelola Jasa Wisata Ramah Iklim oleh Wawan Setiyo Tjahjono, S.P., M.M.A., Kepala Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Yogyakarta, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY.

Materi talk show berikutnya adalah Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berketahanan Iklim oleh Ipong Purwoharsono, Ketua Koperasi Notowono Mangunan dan Peran Masyarakat Desa dalam Membangun Hutan oleh Sadali, Ketua Kelompok HKm Mandiri, Kalibiru.  Talk show dimoderatori oleh Dr. Yayuk Siswiyanti, Kepala Bagian Program, Evaluasi, Hukum, dan Kerja Sama Teknik, pada Sekretariat BSILHK.

Semangat “Rekso Bumi” untuk FoLU Net Sink

Ipong Purwoharsono, Ketua Koperasi Notowono Mangunan, menceritakan pengalaman koperasi yang dikelolanya. Berbicara tentang FoLU Net Sink, “Siapa yg akan menjadi pelaku? Tentunya kita bersama,” tegas Ipong.

Tanpa sadar masyarakat ditempatnya sudah melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung target FoLU Net Sink 2030. Hal-hal kecil seperti dilakukan di Wanawisata Budidaya Mataram, selalu ada rumus fungsi hutan yaitu fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi yang tidak boleh ada yang saling meniadakan. Setiap pelaku usaha otomatis memiliki tanggung jawab pemulihan, setiap tahun ada penanaman kembali.

Menurut Iponk, edukasi tentang manfaat hutan kepada masyarakat adalah kunci keberhasilan. Semangat ‘’rekso” atau merawat dan mencintai bumi antara lain melalui upacara adat menjadi salah satu jalan menumbuhkan pemahaman dan keyakinan apabila kita cinta terhadap alam, maka alam akan mencintai kita. Rekso Bumi ini mengintegrasi adat dalam pengelolaan kawasan hutan.

Tahapan realnya antara lain mengajukan ke pemerintah untuk membuat hutan larangan berikut pengurus/pengelolanya, menggelar kegiatan cinta alam, wajib menanam pohon bagi yang menikah, dll. Konsep cinta bumi ini telah sejak lama menjadi prinsip di Yogyakarta. Salah satu sabda raja di Yogyakarta adalah “gunung bali gunung, alas bali alas”. Hal-hal ini secara langsung telah berkontribusi pada pencapaian target FoLu Net Sink 2030.

Dari Gundul menjadi Berhutan

Sadali, Ketua Kelompok HKm Mandiri Kalibiru, Kab. Kulonprogo, berkisah tentang kiprah kelompok dan masyarakat desanya dalam membangun hutan dari kondisi gundul.  Sederet prestasi diraih HKm ini, antara lain pada 2014 Juara 1 Nasional Wana Lestari, 2017 Juara sebagai wisata terbersih.

Pihaknya mendapatkan izin kelola sementara selama 5 tahun (2003-2008) dengan status hutan produksi yang kemudian berubah menjadi hutan lindung. Kemudian pada 2008 mendapat izin kelola tetap selama 35 tahun. Kelompok ini melakukan kelola usaha, kelola lembaga, dan kelola kawasan.

“Hutan perlu dijaga kelestariannya sebagai pendukung ekosistem bumi, dunia, yang harus dilestarikan juga sebagai paru-paru dunia. Kami berupaya untuk membangun dan melestarikan hutan itu,” jelas Sadali.

Ketika ditanya tentang kesiapan kelompoknya dalam FoLU Net Sink 2030, Sadli menjelaskan bahwa telah banyak yang dilakukan kelompoknya, yang dapat berkontribusi pada program FoLU Net Sink yang saat ini tengah menjadi prioritas KLHK.

Kawasan hutan yang dikelola statusnya hutan lindung, oleh karena itu  HKm Mandiri Kalibiru membuat pemanfaatan jasa lingkungan melalui ekowisata atau wisata alam Kalibiru seluas 10% dari 29 hektare yang dikelola. Kegiatan yang oleh HKm Mandiri Kalibiru ini mampu membangun dan melestarikan hutan, serta sekaligus dapat mengambil manfaat ekonomi dan sosial, serta ekologi tetap terjaga.  Kegiatan sosial yang dilakukan berupa bantuan pembangunan rumah, bantuan yatim piatu dll, selain tentunya meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.

Multiusaha Kehutanan: Paradigma Baru

Kepala BKPH Yogyakarta, Wawan Setiyo Tjahjono, menyampaikan bahwa paradigma pengelolaan hutan lestari telah bergeser menjadi model multiusaha kehutanan, tidak lagi hanya pemanfaatan kayu dan non-kayu. Multiusaha kehutanan dapat mencakup banyak aspek seperti pangan, jasa lingkungan, mendukung penerapan agroforestri, silvofishery, silvopasture, ekowisata dan penyembuhan, serta skema penyerap karbon.

Lebih lanjut dijelaskan Wawan bahwa multiusaha kehutanan dapat menjadi solusi untuk mencapai tujuan FoLU Net Sink. Ini berkonsekuensi diperlukan upaya dan kerja keras semua pihak secara terukur dan dapat dipertanggung jawabkan agar target pencapaian dapat diwujudkan. Kolaborasi dan sinergisitas seluruh stakeholder baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat menjadi sebuah keharusan.

Pada ekowisata, Wawan menekankan perlunya standar tata kelola jasa wisata ramah iklim.  Beberapa hal yang dibutuhkan adalah penerapan kebijakan organisasi yang ramah lingkungan; standar pengelolaan tapak ramah lingkungan; standar bahan baku dan produk ramah lingkungan, serta mengutamakan kandungan lokal; efisiensi dan konservasi energi serta air; standar pengelolan limbah padat dan cair secara berkelanjutan; standar penyimpanan dan pembuangan bahan beracun dan berbahaya; standar manajemen polusi suara; serta standar kesehatan dan kenyamanan sirkulasi udara di dalam dan di luar bangunan.

Wawan menyampaikan bahwa yang terpenting adalah dalam mengelola wisata alam adalah mempromosikan atau mengedepankan serta mengangkat nilai sosial dan budaya-budaya yang ada di masyarakat sekitar. “Wisata alam bukan memindahkan wisatawan ke hutan tapi membuat mereka tertarik dengan sosial budaya yang ada di sekitar hutan,’’ tegasnya.

Standar Restorasi Hutan

Dalam hal kegiatan berusaha, Hamdan, Penyuluh Kehutanan BBPSIK Yogyakarta, menegaskan bahwa setiap kegiatan berusaha pada sektor kehutanan yang berupa penggunaan kawasan hutan harus dilakukan dalam rangka mendukung upaya restorasi di kawasan hutan tersebut. Standar dan instrumen terkait diterapkan, sehingga kegiatan usaha yang dijalankan menguntungkan secara ekonomi dan sosial serta tetap mampu menjaga kelestarian hutannya.

“Perumusan standar restorasi hutan disesuaikan dengan jenis kegiatan usaha sektor kehutanan yang dilakukan, “papar Penyuluh Kehutanan di BBPSIK Yogyakarta tersebut. Standar akan menyajikan panduan secara komprehensif pada setiap tahapan kegiatan restorasi yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap pemantauan dan evaluasi, serta strategi menjaga keberlangsungan proses restorasi yang dilakukan. Ketika standar belum ada, maka tugas BSILHK untuk merumuskan standar yang diperlukan.

“Dua spirit yang harus kita jaga dalam diri kita yaitu spirit menanam dan spirit menjaga hutan,” pungkas Hamdan.

Dalam kesempatan itu juga mengundang salah satu mahasiswi Fakultas Kehutanan, Nilo – yang mempertanyakan bagaimana kontribusi pemangku tapak terhadap FOLU Net Sink. ‘Mahasiswa sebagai entitas kritis perlu didorong untuk terlibat dalam turut memikirkan bagaimana mengatasi PR-PR dalam upaya-upaya menjaga hutan dan upaya lahan menjadi berhutan – untuk mengejar FOLU Net Sink 2030, dapat melalui skripsi’ demikian moderator membangun semangat mahasiswa Fakultas Kehutanan yang hadir dalam talkshow ini.

Talk show BSILHK dalam agenda Indogreen 2023 ini dihadiri lebih dari 100 peserta faktual dan 90 orang peserta online pada kanal YouTube BSILHK. Selain mahasiswa UGM, mahasiswa Instiper, guru, pelajar, turut hadir dalam talk show ini Kepala Biro Humas KLHK, Kepala Balai TN Manusela Sulteng, beberapa Kepala UPT lingkup BSILHK, unsur Ditjen KSDAE, BRGM, dan para pejabat fungsional BSILHK. Dalam Indogreen 2023 ini BSILHK juga membuka booth pameran dan menampilkan salah satu praktik pembuatan souvenir berbasis limbah kemasan makanan dan minuman sebagai “dorongan” kepada masyarakat bahwa limbah dapat berkontribusi secara ekonomi.

 

Penulis: Dyah Puspasari

Kontributor liputan: Nurva Chaily, C. Sriutami Fujiyanti, M. Farid Fahmi, Fachrizal, & Raditya Arif

Editor: Yayuk Siswiyanti

Foto Ilustrasi : wisatajogja.biz, mongobay

Bagi Sobat Hijau yang ingin menyimak secara langsung paparan dari para pemangku tapak, silakan menyimak siaran talk show “Mengejar Capaian FOLU Net Sink 2030 melalui Standardisasi LHK” pada tautan YouTube BSILHK berikut ini.

 

 

Bagikan Berita / Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *