Usaha Risiko Rendah, Menjaga Daya Tampung & Daya Dukung Lingkungan

Secara alami, kegiatan atau usaha yang termasuk dalam kategori risiko rendah, maka dampak lingkungannya juga rendah. Namun jika pelaku-pelaku  usaha kategori risiko rendah ini berkumpul dalam satu tempat, maka bisa jadi memberikan dampak lingkungan yang signifikan. Agar tidak terjadi dampak lingkungan yang signifikan, maka perlu melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik  – supaya dapat menjaga tidak melebihi daya tampung/daya dukung lingkungan. Permohonan usaha dengan kategori risiko rendah – apabila persyaratannya lengkap – ada pernyataan komitmen melakukan pengelolaan lingkungan hidup  – maka akan terbit izin secara otomatis oleh sistem OSS. Tercatat 1,4 juta lebih.  Bagaimana memastikan komitmen ini dijalankan?  Siapa yang akan memonitor? Badan Standardisasi sedang bekerja untuk ini.

(BSILHK) Salah satu implementasi Undang-Undang Cipta Kerja adalah kewajiban bagi setiap pelaku usaha untuk memperoleh legalitas usaha berupa Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebelum memulai dan menjalankan kegiatan usahanya. Perizinan berusaha diberikan kepada pelaku usaha sesuai dengan tingkat risiko yang terkait dengan kegiatan usahanya.

Pada akhir tahun 2023, tercatat 1,4 juta usaha risiko rendah dan risiko menengah telah/sedang mengajukan persetujuan lingkungan melalui Sistem Amdalnet Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) mengidentifikasi perlunya pemantauan dan pendampingan bagi usaha-usaha ini. BSILHK menduga bahwa jika usaha-usaha ini diakumulasi, mereka juga memiliki potensi yang signifikan untuk mempengaruhi lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa usaha-usaha ini melaksanakan praktik pengelolaan lingkungan yang baik.

Prof. Hefni Effendi, guru besar bidang pengelolaan lingkungan dari Institut Pertanian Bogor Ketika berbincang khusus dengan Redaksi Majalah Standar BSILHK di Bogor (26/1) menjelaskan bahwa ketika kita menentukan sejauh mana risiko yang akan muncul dari usaha atau kegiatan, pemerintah yang membuat kategorisasi risiko rendah, menengah dan tinggi dan pelaku usaha tinggal memilih akan melakukan usaha dengan tingkat risiko rendah, menengah atau tinggi.

“Risiko ini kaitannya dengan manusia dan lingkungan. Intinya memperhatikan manusia, baik manusia yang bekerja di usaha atau kegiatan tersebut maupun manusia yang berada di sekitar lingkungan dimana kegiatan usaha tersebut berada sehingga paradigma ini bagus, dalam perizinan berusaha tidak hanya berbasis pada permodalan namun juga betul-betul memperhatikan risiko dan bahaya yang muncul di lingkungan sekitar usaha tersebut,” Demikian kata Prof. Hefni.

Perbedaan risiko usaha dan risiko lingkungan, risiko usaha sebenarnya adalah sumber, artinya ketika mengadakan assessment suatu usaha, maka melihat usaha apa saja yang membahayakan manusia dan lingkungan. Sedangkan risiko lingkungan adalah lingkungan si penerima dampak, atau receiver.

Ketika risiko usaha tinggi, maka risiko terhadap lingkungannya akan tinggi, karena receivernya tidak hanya manusia yang bekerja dalam usaha atau kegiatan tersebut namun juga lingkungan dimana usaha tersebut berada. Hal tersebut terkait lingkungan sebagai penerima dampak. Lingkungan sebagai penerima bahaya dari risiko yang muncul dari kegiatan atau usaha.

Menurunkan Tingkat Risiko Lingkungan

Jika pelaku usaha ingin menurunkan risiko, maka pelaku usaha harus menurunkan probalitas terjadinya dampak.  Pengusaha harus memiliki pengelolaan risiko dan action plan apa yang bisa menurunkan probalitas dan konsekuensi. Misal dalam proses produksi dari suatu kegiatan usaha berdampak pada kenyamanan di dalam suatu ruangan atau kebisingan di suatu ruangan dan menimbulkan konsekuensi.  apabila probabilitas terjadinya dampak setiap hari (almost certain), dan konsekuensinya moderat, maka kegiatan tersebut masuk kategori risiko tinggi. Apabila pelaku ingin menurunkan dari risiko tinggi ke risiko rendah maka tentu ada biaya (cost).

Saat ini masih banyak pelaku usaha yang tidak mempunyai anggaran khusus untuk menurunkan tingkat probabilitas dan konsekuensi. Perusahaan akan mengeluarkan biaya yang mahal. Sementara itu prinsip pengusaha adalah mencari keuntungan.

Kegiatan Usaha Tingkat Risiko Rendah dan Menengah Rendah

Usaha-usaha dengan tingkat risiko rendah tidak perlu membuat dokumen lingkungan berupa Amdal atau UKL-UPL, hanya perlu menyiapkan  SPPL yang merupakan pernyataan komitmen untuk melakukan pengelolaan lingkungan – untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB).

Prof Hefni mengungkapkan, jika kegiatan usaha dengan Tingkat risiko rendah jumlahnya  banyak dan berkumpul dalam satu tempat, hal ini menjadi tugas pemerintah untuk mengatasinya. Tugas pemerintah dapat membantu pengusaha menyusunkan dokumen lingkungan dan membuatkan IPAL komunal, misalnya. Kita telah mulai melakukan ini,  akan terus diupayakan.

Untuk menghimpun para pengusaha kecil dalam pengelolaan lingkungan, selain pemerintah menghimpun para pengusaha tersebut, idealnya pemerintah juga memberikan insentif dalam bentuk pajak, kesempatan-kesempatan, atau materi lainnya sehingga para pengusaha akan lebih semangat. Kini pemerintah juga sedang melangkah terus untuk memberikan misalnya kredit lunak atau fasilitas finansial kepada usaha-usaha yang melakukan (safeguard) pengelolaan lingkungan.

Indonesia perlu regulasi untuk membuat orang disiplin. Bagaimana masyarakat taat terhadap regulasi seperti di negara maju. Regulasi juga harus dibarengi dengan teknologi. Sehingga masyarakat lama kelamaan akan sadar sendiri. Selain pemerintah membuat regulasinya dan diterapkan dengan konsisten, juga perlu mengadopsi teknologi dalam rangka mengelola lingkungan.

Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan

Secara alami jika kegiatan atau usaha termasuk dalam kategori risiko rendah, maka dampak lingkungannya juga rendah. Namun jika pelaku usaha berkumpul dalam satu tempat maka bisa jadi memberikan dampak lingkungan yang signifikan.  

“Hal ini terkait dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan” jelas Prof Hefni. Walaupun suatu usaha masuk kategori risiko rendah, namun jika dalam suatu wilayah tersebut daya tampung dan daya dukungnya sudah terlampaui, maka seharusnya izin usaha tidak bisa terbit. Kriteria kelayakan usaha, ada daya dukung dan daya tampung.  Namun belum semua wilayah ada data daya dukung dan daya tampung, sehingga kriteria daya dukung dan daya tampung diabaikan.

Di negara maju seperti di Kanada, jika daya dukung dan daya tampungnya sudah terlampau izin lingkungan tidak akan diterbitkan, sebelum ada perbaikan daya dukung dan daya tampung. Berbeda dengan di Indonesia. Menurut Prof Hefni, sebetulnya regulasi di Indonesia sudah bagus, sudah beyond, namun dalam penerapannya masih ada kelonggaran.

Hirarki Pengelolaan Lingkungan

Gambar usaha dg risiko rendah – UMKM pengrajin Batik

Dalam pengelolaan lingkungan ada hirarki. Hirarki dalam pengelolaan lingkungan mencerminkan pendekatan bertahap untuk mengelola dampak lingkungan dari yang negatif hingga yang positif. Penjelasan tentang masing-masing level dan beberapa upaya non-fisik atau normatif yang dapat meningkatkan dampak positif bersih.

Hindari dampak (avoid), upaya ini bertujuan untuk sepenuhnya menghindari dampak lingkungan yang mungkin timbul dari suatu kegiatan usaha. Misalnya pemilihan lokasi yang tidak memiliki nilai lingkungan tinggi, atau perubahan desain proyek untuk menghindari area rawan.

Minimalisasi dampak (minimize). Jika tidak dapat dihindari, langkah berikutnya adalah meminimalkan dampak yang mungkin terjadi. Contohnya penggunaan teknologi bersih, praktik-praktik konstruksi berkelanjutan, atau penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan.

Pemulihan (rehabilitate). Jika dampak negatif tidak dapat dihindari atau diminimalkan sepenuhnya, langkah selanjutnya adalah melakukan rehabilitasi atau pemulihan. Contoh upayanya misalnya restorasi ekosistem setelah pengambilan sumber daya, penanaman kembali tumbuhan yang terancam, atau restorasi habitat.

Offset (compensate), jika tidak memungkinkan untuk sepenuhnya menghindari, meminimalkan, atau merehabilitasi dampak negatif, maka dapat dilakukan offset. Offset mencakup kompensasi untuk dampak yang dihasilkan dengan melakukan tindakan positif di tempat lain. Penanaman pohon di wilayah lain, kontribusi ke proyek konservasi, atau pembangunan fasilitas lingkungan positif sebagai imbalan.

BSILHK sudah on the track

Salah satu tusi BSILHK adalah membangun standar. Standar adalah instrumen, instrumen  tidak hanya instrumen dalam arti fisik namun instrumen dalam arti metodologi,  teknologi maupun regulasi. Lebih lanjut menurut Prof. Hefni, BSILHK sudah bagus dalam membangun standar-standar spesifik terkait penyusunan UKL-UPL. Artinya BSILHK sudah on the track dan tinggal mengembangkan lagi standar-standar yang diformulasikan tidak hanya standar spesifik terkait penyusunan UKL-UPL dan Amdal, namun juga standar-standar yang dapat membantu unit eselon I lain di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Prof. Hefni mencontohkan dalam Pengendalian Pencemaran Udara (PPU) dan Pengendalian Pencemaran Air (PPA), diperlukan standar-standar dalam mengelola emisi udara, kualitas air dan lain-lain. Jika BSILHK dapat menyediakan pilihan dalam penggunaan teknologi yang proven dan berhasil, Ditjen PPKL tinggal merujuk standar yang dibuat oleh BSILHK sehingga ketika pembahasan PPU dan PPA tinggal mengambil dari standar yang telah dibuat oleh BSILHK. 

Senada dengan Prof. Hefni, Kepala BSILHK Ary Sudijanto, ketika memberikan arahan dalam Rapat Koordinasi BSILHK tahun 2024 (17/1) mengatakan bahwa tahun 2024 BSILHK harus lebih banyak berperan untuk menyiapkan standar-standar instrumen yang dibutuhkan oleh KLHK dan memastikan standar tersebut dapat diimplementasikan secara mandatory. Kemudian BSILHK perlu mengidentifikasi hasil kerja dengan unggulan spesifik (flagship) dengan berbagai pilihan layanan.

Gambar usaha dg risiko rendah – Usaha Produksi Tempe

Hal ini juga didukung dengan proses penajaman mekanisme di siklus 1 dan siklus 2 yang dituangkan dalam kerja-kerja baik dalam penyusunan, validasi, pemantauan, maupun penilaian penerapan standarnya.

BSILHK juga akan berfokus pada pelaku usaha/kegiatan risiko menengah, risiko menengah rendah dan risiko rendah serta mentargetkan melakukan pemantauan dan asistensi pendampingan penerap standar 10.000 entitas pelaku usaha/kegiatan.

_________________________________________________________________________________________________________

Wawancara dengan Prof. Hefni Efendi telah di muat di Majalah Standar BSILHK Volume 3 No.1 2024. https://majalah.bsilhk.menlhk.go.id/index.php/STANDAR/article/view/196

Prof. Dr. Hefni Effendi, M.Phil.

Adalah seorang guru besar di Institut Pertanian Bogor (IPB), mengkhususkan diri dalam bidang pengelolaan lingkungan, terutama dalam penanganan pencemaran pada sumber daya perairan. Merupakan putra daerah Kalimantan Selatan yang lahir di Birayang, dedikasinya terhadap pengetahuan dan kontribusinya di IPB  sudah dimulai sejak tahun 1989.  Gelar Sarjana Perikanan diraih dari IPB pada tahun 1987. Prof Hefni menempuh pendidikan master di The University of Sheffield, Inggris dan meraih gelar PhD dari Universitaet Duesseldorf, Jerman pada tahun 2004.

Ia telah menghasilkan berbagai kajian terkait manajemen lingkungan, termasuk penelitian tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Perannya dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB tidak hanya pernah menjabat sebagai Direktur, namun Prof Hefni juga selalu siap menjadi garda terdepan dalam menghadapi isu-isu lingkungan. Profesor Hefni saat ini merupakan Ketua Departemen  Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Bagikan Berita / Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *