Gd Manggala Wanabakti Blok VII Lantai 10, Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270
(021) 57903068 ext 373
bsilhk@menlhk.go.id

28 Para Pihak Menyepakati Titik Temu Menjaga Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu

Berkumpul di Pekanbaru, 28 Para Pihak membahas bagaimana mengkoneksikan intervensi masing-masing untuk menjaga cagar biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu. Masing-masing pihak punya sumberdaya dan program, terus berlangsung dari waktu ke waktu, namun satu dan lain tidak berkomunikasi. Masing-masing mengerjakan sendiri-sendiri. Lalu apa kesepakatan mereka?

[BSILHK] Cagar Biosfer GSK-BB merupakan lanskap seluas 705,271 ha ditujukan untuk memproteksi ekosistem, flora dan fauna endemik serta memberikan dampak positif ekonomi masyarakat. Semenjak penetapan tahun 2009 hingga saat ini, GSK-BB mengalami berbagai perubahan, sosial, ekonomi, dan ekologi. Terdapat sedikitnya 37 (tigapuluh tujuh) kelompok pemangku kepentingan, dimana masing-masing memiliki sumberdaya yang dialokasikan untuk cagar biosfer. Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2009.

Berkontribusi  menjaga cagar biosfer ini, Project ITTO PD 712/13 Rev.3 (F) berjudul : Enhancing the Implementation of Landscape Management of Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve (GSKBB-BR) in Riau Province of Sumatra Island, Indonesia – Phase I melakukan kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam manajemen kawasan konservasi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu, Provinsi Riau, sembari menanyakan komitmen bersama untuk menjaga cagar.

Dalam pelaksanaannya, Project ITTO PD 712/13 Rev.3 (F) perlu menjawab beberapa arah desain tugas menjaga cagar, yaitu Penguatan manajemen pengelolaan berbasis manajemen lanskap, penguatan kapasitas pemangku lahan Cagar Biosfer GSK-BB dan menjembatani kolaborasi para pemangku kepentingan. Tantangan pengelolaan/pengendalian akibat-akibat lemahnya koneksitas dan pemahaman komprehensif terhadap keberlanjutan manajemen Kawasan konservasi Cagar Biosfer. Corenya adalah memastikan terintegrasinya program/kegiatan para pihak, kolaborasi serta komitmen stakeholders.

28 kelompok pemangku kepentingan bertemu di Pekanbaru tanggal 27-29 Mei 2024 membahas 1) Pengelolaan Cagar Biosfer GSK-BB, 2) kebijakan dan implementasi pengelolaan Cagar Biosfer (Kebijakan dan kelembagaan pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia, Pengelolaan Kawasan konservasi dalam perspektif lanskap Cagar Biosfer, Pengelolaan adaptif cagar biosfer, dan Pengorganisasian pengelolaan Cagar Biosfer), 3) permasalahan dan Solusi dalam pengelolaan Cagar Biosfer GSK-BB (Pengelolaan satwa liar di Cagar Biosfer GSK-BB, Pengelolaan sumberdaya hutan di Cagar Biosfer GSK-BB (isu tenurial dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan, Pengembangan ekonomi wilayah berbasis masyarakat (komoditi dan jasa lingkungan) di Cagar Biosfer GSK-BB), Pengelolaan kolaboratif Cagar Biosfer GSK-BB (Tata kelola dan organisasi pengelolaan kolaboratif Cagar Biosfer GSK-BB, dan Peran para pihak dalam pengelolaan Cagar Biosfer GSK-BB).

28 parapihak – 53 orang antara lain UNRI, FKKM, Yayasan Belantara Foundation, Bappeda Siak, Bappeda prov riau, BPSILHK Kuok, Dinas LHK Riau, Dinas Perkebunan Riau, Dinas LH Bengkalis, Dinas LH, Dumai, P3E Sumatera, BPKH, PT.Rimba Mandau Lestari, SENDS, LPESM, BKSDA RIAU, MAB, Dit.PKK-KSDAE, APP Sinar Mas Forestry, PT.Arara Abadi, PT. Balai Kayang Mandiri, PT. Bukit Batu Hutan Alam, PT. Riau Abadi Lestari, PT. Sekato Pratama Makmur, PT. Satria Perkasa Agung, PT. Surya ibtisari Raya – HGU Sawit, PT. Riau makmur sentosa-HGU sawit, dan PT. Adei CRF-HGU sawit.

Para pihak membahas tentang masalah, baseline, lokasi, skala masalah, akar masalah, best possible intervention, pihak yang harus terlibat, pendanaan, dan indikator keberhasilan. Top masalahnya ternyata pada aspek sosial dan kelembagaan. Sambas juga mengingatkan, tidak mudah menetapkan masalah. Seringkali kita salah menetapkan masalah, sehingga intervensinya menjadi salah. Albert Einstein, jika diberikan 60 menit untuk menyelesaikan masalah, 59 menitnya digunakan untuk menetapkan masalah, 1 menitnya untuk menemukan solusinya, demikian tuturnya memberikan semangat.

Difasilitasi Dosen Fakultas Kehutanan & Lingkungan IPB, Haryanto R Putro, diskusi  mengungkapkan bahwa posisi Cagar Biosfer di Indonesia saat ini kejelasannya samar/tidak nampak. Aturan pemanfaatan ruang dalam skala desa, tingkat desa telah menetapkan alokasi areal untuk dilindungi, dimanfaatkan namun tidak diakomodasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah tingkat kabupaten/kota, water management system hulu ke hilir – belum memikirkan dampak negatif cemaran, tupoksi antar stakeholders, serta perlunya pembangunan true branding cagar biosfer – merupakan hal penting untuk dicermati para pihak stakeholders cagar biosfer di Indonesia.

Kebijakan dan Implementasi Pengelolaan

Para pihak juga mendiskusikan 1) perlunya mengakomodir areal pengelolaan Cagar Biosfer GSK-BB ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau dan 2) branding produk Cagar Biosfer merupakan salah satu upaya peningkatan kualitas dan kuantitas perekonomian, sosial dan budaya masyarakat di Kawasan Cagar Biosfer. Dengan demikian Masyarakat semakin merasakan manfaat dari Gelar/Status Internasional Cagar Biosfer yang diberikan UNESCO sejak didirikan. Selain itu juga merupakan salah satu upaya sosialisasi tentang pentingnya Cagar Biosfer bagi masyarakat; 3) area transisi sebagai kunci konsep pengelolaan Cagar Biosfer – pengelolaan area penyangga Cagar Biosfer perlu mencakup area penyangga dan transisi; 4) Pengelolaan area penyangga dan area transisi Cagar Biosfer dapat didekati melalui konsep daerah penyangga kawasan konservasi oleh Ditjen KSDAE; 5) Penetapan Cagar Biosfer di Indonesia secara aturan harus berupa Kawasan Suaka Alam. Indonesia punya 20 Cagar Biosfer sedangkan 19 Cagar Biosfer berstatus kawasan Pelestarian Alam – hanya CB GSK-BB yang sesuai dengan penetapannya (KSA).

“Untuk itu, perlu ada payung hukum tentang tata cara penetapan dan pengelolaan daerah penyangga kawasan konservasi. Diperlukan pembagian wewenang melalui payung hukum yang mengatur kewenangan pengelolaan kawasan konservasi dalam kawasan hutan dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedangkan  Penetapan dan Pengelolaan Daerah Penyangga Kawasan Konservasi di luar kawasan hutan dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui Kementerian Dalam Negeri”. Pungkas Prof. Sambas Basuni, MS (Guru Besar Fakultas Kehutanan & Lingkungan) pada peserta Bimtek pengelolaan lanskap Cagar Biosfer.

“Tujuan penetapan status internasional/gelar Cagar Biosfer pada kawasan konservasi adalah sebagai wadah branding dan/atau sosialisasi upaya peningkatan kualitas dan kuantitas perekonomian, sosial dan budaya masyarakat sekitar Cagar Biosfer. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kita perlu melakukan  perencanaan yang baik, kolaborasi/koordinasi, peran partisipasi masyarakat, dan dukungan logistik yang memadai, pengelolaan adaptif cagar biosfer”, tegas  Ketua Komite Nasional MAB (Man and Biosphere) Indonesia, Prof. Maman Turjaman, DEA.

Lebih lanjut, Marlenni PEH Ahli Madya, perwakilan Ditjen KSDAE, menjelaskan bahwa faktor pembeda antara kawasan konservasi dan kawasan konservasi yang berstatus Cagar Biosfer antara lain: a) menjadi “acuan” dalam pembangunan berkelanjutan, b) Menciptakan “peluang” pengembangan nilai penting kawasan dan dukungan teknis maupun pendanaan dari berbagai pihak terutama pihak internasional; c) Memberikan “nilai tambah” melalui branding dan promosi tingkat internasional; d) Menguatkan “positioning”, baik di tingkat nasional (KSN) maupun internasional, yang sangat strategis untuk membangun citra negara dalam pergaulan dunia; e) Menguatkan pola kerja eksisting melibatkan multi-stakeholders/partnership (tanpa merubah status dan fungsi kawasan).

Permasalahan dan Solusi dalam Pengelolaan

Para pihak mencatat,  permasalahan Pengelolaan Cagar Biosfer GSK-BB diperoleh hasil terkait 1) di GSK-BB, keberadaan satwa liar kunci Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera berada pada area penyangga dan area transisi, 2) tata ruang wilayah Kabupaten/Kota/Provinsi, kajian rencana infrastruktur pembangunan perlu memperhatikan kajian ekologis terutama homerange/ruang jelajah satwa kunci (Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera), 3) terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya hutan lingkungan.

Salah satu narasumber, Dr. Nyoto Santoso, MS menekankan bahwa beberapa permasalahan ekologis yang terjadi di lanskap Cagar Biosfer antara lain: Konsentrasi populasi – fragmentasi, Konflik manusia – satwa liar meningkat, sehingga menyebabkan penurunan populasi – biodiversity loss. Kelimpahan biodiversitas fauna Cagar Biosfer GSK-BB meliputi Gajah Sumatera (Elephas maximus), Rangkong (Bucerotidae), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Buaya Senyulong (Tomistoma schlegelii), dan Tapir (Tapirus indicus). Pelaksanaan perlindungan satwa liar pada areal persetujuan perizinan pemanfaatan hutan perlu mengalokasikan areal sebagai areal HCV serta penerapan konsep budidaya adaptif (untuk lokasi kebun masyarakat, PBPH HTI, pertanian masyarakat) sebagai sarana penyediaan ruang dan pakan satwa liar, dan pemasangan GPS Collar pada satwa liar untuk memantau pergerakan secara real time.

“Banyak sekali potensi manfaat Cagar Biosfer GSK-BB antara lain produk pertanian (padi organik, sayuran segar, dan buah-buahan lokal), produk kehutanan (rotan, dan tumbuhan obat), produk perikanan (ikan segar, ikan asap, dan produk olahan lainnya), dan produk kerajinan (anyaman bambu, gerabah, dan tenun tradisional). Selain itu, potensi jasa pariwisata alam (mandi gajah, danau/tasik, Sungai Giam Siak, dan Sungai Bukit Batu)” ungkap Aris Arismaya Metananda, S.Hut., M.Si, Dosen Universitas Riau (UNRI).

Updating data demografi populasi dan kesesuaian habitat dan daya dukung satwa liar juga perlu dilakukan untuk mendukung pengelolaan dan kesejahteraan satwa serta menjawab pertanyaan konteks carrying capacitybaseline data keperluan luas ruang jelajah dan ketersediaan/kecukupan pakan serta bagaimana manajemen adaptif dilakukan”, tutur Dr. Wanda Kuswanda, MAB Indonesia.

Dalam pertemuan ini juga diketahui bahwa pergerakan ruang satwa Gajah di GSK-BB semakin menyempit, keberadaannya saat ini berada di daerah konsesi PT. Arara Abadi – 70 % berada di areal konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Industri, 30 % berada pada kawasan lainnya. Satwa Gajah tidak dapat masuk ke dalam area inti karena terbatasi oleh keberadaan rawa/perairan. Kenapa keberadaan populasi Gajah Sumatera pada Tahun 2023 mostly berada di kawasan konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Industri PT. Arara Abadi, bahkan bereproduksi – terdapat beberapa kejadian kelahiran anak Gajah Sumatera. Areal tersebut memenuhi kebutuhan sumber air/kubangan/tasik kecil, sumber garam mineral, dan area beristirahat yang aman dan nyaman untuk kelangsungan hidup populasi-kelompok Gajah Sumatera. Home range/ruang jelajah Gajah Sumatera terdekat dari CB GSK-BB, yaitu Suaka Margasatwa Pusat Latihan Gajah Sebanga, SM Kerumutan, SM Balai Raja, Taman Nasional Zamrud, dan Tahura Sultan Syarif Hasyim.

Pengelolaan Kolaboratif

“Terjadinya kolaborasi apabila pemangku kepentingan mempunyai interest yang sama – namun tidak  dapat terjadi kesetaraan kewenangan dan kekuasaan antar stakeholders, kesenjangan kewenangan dan kekuasaan maka peran pemerintah diperlukan untuk membantu dan merasionalisasi masalah” jelas Dosen Fakultas Kehutanan & Lingkungan, Dr. Tutut Sunarminto, M.Si. Tutut menghawatirkan, “jangan-jangan yang terjadi selama ini hanya pengelolaan koordinatif, bukan kolaboratif”.

“Proses kolaboratif berupaya menciptakan zona kesepakatan diantara para pemangku kepentingan agar solusi yang bisa diterapkan dapat dicapai. Kolaborasi yang baik adalah institutional collaboration – pengelolaan Cagar Biosfer merupakan pengelolaan lanskap skala bioregional” imbuhnya.

“Pada tataran pengelolaan lanskap Cagar Biosfer GSK-BB teridentifikasi setidaknya 37 kelompok pemangku kepentingan 1 key players, 9 subjects, 7 context setters, dan 10 crowds.  Key players paling berpengaruh antara lain: BBKSDA Riau, Sinarmas Forestry & Partner, Komite Nasional MAB Indonesia, dan Bappeda Provinsi Riau” Ungkap Dosen Universitas Riau, Dr. Defri Yoza, M.Si. IPU.

Dalam diskusi juga diangkat tantangan-tantangan baik arah kerangka pikir, koherensi  kebijakan, teknis operasional, sinergi pusat-daerah – yang masih perlu dilakukan perbaikan-perbaikan ke depan. Disepakati bahwa terdapat perkembangan masalah aktual yang perlu dijawab, yaitu tidak terjadinya diseminasi konsep kelola Cagar Biosfer sampai ke tingkat tapak, lemahnya komunikasi koordinasi antar pihak kelompok pemangku kepentingan, revitalisasi kelembagaan Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer GSK-BB, fragmentasi koridor habitat satwa liar – antar stakeholders kawasan tidak terkoneksi, pemilihan dan penunjukkan Local Champion tapak sebagai tonggak mobilisasi, penggerak/inisiator pengembangan potensi desa, GSK-BB harus memberikan kontribusi untuk memenuhi kebutuhan Target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) melalui kredit/perdagangan/offset karbon juga untuk memenuhi kebutuhan Target Kontribusi Nasional target Kerangka Keanekaragaman Hayati Global (Global Biodiversity Framework targets) – melindungi 30% bumi pada tahun 2030 melalui kredit keanekaragaman hayati yang bertujuan menghentikan dan membalikkan hilangnya spesies dengan mengatasi berbagai ancaman, termasuk hilangnya habitat flora fauna endemik permanen.

Menyimpulkan perdebatan para peserta di salah satu sesi, Haryanto mengemukakan, bahwa baseline intervensi adalah kondisi faktual saat ini. Ada yang memang menjadi keterlanjuran. Sebagai contoh, ada desa yang sudah terbiasa terpapar dengan program-program bantuan, sehingga masyarakat ini tergantung dengan ‘bantuan’. Ada desa-desa yang masih terbuka untuk mendorong konservasi. Nah ini perlu intervensi sendiri-sendiri, tidak bisa sama intervensinya. Salah satu peserta pemegang ijin perkebunan sawit – juga mengemukakan, “jika terjadi kebakaran – kamilah yang pertama dituduh melakukan pembakaran, padahal tidak”. Ia menjelaskan, banyak pendatang yang mengokupasi lahan-lahan, secara perlahan. Mereka membuka areal secara dibakar, lalu menanam sawit – sebagai tanda awal kepemilikan lahan. Kasus seperti itu banyak ditemui. Para pendatang tersebut mulai membuat rumah, dan oleh pemerintah setempat diberikan KTP. KTP dijadikan instrumen legalitas kedudukan mereka di lahan tersebut. Hal-hal semacam itu, menjadi taktik penguasaan lahan.

Seluruh para pihak yang hadir sepakat, bahwa problemnya sangat kompleks, tantangannya tinggi. Namun seluruh pihak setuju bahwa dari seluruh kegiatan-kegiatan perlu saling mengisi, saling mensupport antara satu dengan yang lain.

Peningkatan Kapasitas SDM dalam kelola lanskap Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu Berkelanjutan terselenggara atas  kerja sama  BSILHK, ITTO,  dengan Divisi Manajemen Kawasan Konservasi, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan & Ekowisata, Fakultas Kehutanan & Lingkungan, IPB University. Momentum ini  diikuti oleh SDM para pihak stakeholders Cagar Biosfer GSK-BB tapak lingkup KLHK, Pemerintahan Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Komite Nasional MAB Indonesia, Akademisi, Sektor Swasta, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Turut pula bergabung peserta dari Balai Penerapan Standar Instrumen LHK Kuok.

Penulis: Abiyyu Muhammad Haris

Editor: Yayuk Siswiyanti

Bagikan Berita / Artikel