Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Komisi IV DPR RI menyelenggarakan Focus Group Discussion dengan tema "Percepatan Pengembangan Nilai Ekonomi Karbon di Indonesia" di Jakarta, Jumat (20/9/2024).
Dalam pengantar diskusi, Menteri LHK Siti Nurbaya menyampaikan empat materi yaitu battle field iklim dan karbon; kerja-kerja aksi iklim sektoral; komitmen RI, NDC sebagai bench mark global; dan pengaturan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Berbicara NEK, Menteri Siti menyampaikan yang paling penting adalah prinsip-prinsipnya. Yang dipegang yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Ratifikasi Paris Agreement. Dalam konteks ini juga yang harus dipegang betul yaitu kita memakai rezim Paris Agreement, bukan lagi rezim Protokol Kyoto. Dimana Indonesia sudah mempunyai kewajiban untuk ikut menurunkan emisi GRK.
Dengan demikian, ada dua sisi yang harus dilihat yaitu aspek supply and demand. KLHK meyakini karbon itu bukan komoditi, tapi jasa aktivitas penurunan emisi dengan ukuran CO2. Supply bukan hanya stok dari alam untuk diperdagangkan, tetapi berupa jasa penurunan emisi karbon dari aktivitas, artinya bukan semata-mata carbon offset.
"Ada dispute dalam pemahamannya, disangkanya jual karbon adalah menjual semua karbon dari hutan kita. Padahal sebetulnya bagaimana jasa kita menurunkan emisi dan terus menerus menanam untuk menambah penyerapan karbon. Jadi kira-kira seperti itu," terangnya.
Ukuran NEK adalah pemenuhan NDC yang telah ditetapkan sebagai komitmen secara nasional kepada global. Kemudian, jasa karbon yang dihitung dengan CO2 haruslah dari high integrity environmentally.
"Jadi bukan karbon asal-asal, karbon palsu, bukan asal pengakuan saja, sehingga bukan pula green washing. Disitu ada syaratnya transparan, akuntabel, akurat, comparable, komplit, dan konsisten," terangnya.
Selain itu, ada reward atau contribution atas jasa penurunan emisi karbon secara bilateral atau multilateral. Untuk hal seperti ini dikelola oleh BPDLH.
Selanjutnya, Menteri Siti menyampaikan hal penting bahwa NEK ini merupakan mandat konstitusi. Sesuai pasal 33 UUD 1945, disitu juga ada mandat konstitusional rakyat, karena berasal dari sumber daya alam.
Dalam pengelolaan karbon juga ada management/operation rights, dari pelaku/pebisnis/usaha dalam rangka menurunkan emisi karbon, yang mendapatkan mandat dari negara melalui perizinan atau voluntary masyarakat dengan menanam pohon.
Selanjutnya, economic rights, bahwa NEK pun dapat memberikan manfaat secara ekonomi berupa pendapatan negara, yang saat ini masih perlu diformulasikan bersama Kementerian Keuangan.
"Tidak perlu ada keraguan bahwa kita bisa bekerja dengan pengendalian emisi karbon sekaligus juga ekonomi bisa bertumbuh,"
Terakhir, capaian angka karbon dapat merefleksikan performa atau kapasitas kita sebagai negara diantara negara-negara di dunia. Dalam hal ini, Menteri Siti menegaskan Indonesia termasuk yang tidak ketinggalan dan relatif maju.
Dalam sambutannya, Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin mengatakan tantangan utama yang dihadapi dalam mencapai target NDC adalah bagaimana merancang kebijakan instrumen yang mampu mengintegrasikan aspek berkelanjutan ekonomi dan lingkungan secara seimbang.
"Disinilah konsep Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menjadi relevan dan penting untuk didiskusikan," ujar Sudin seraya menjelaskan bahwa FGD hari ini merupakan tindaklanjut dari rapat kerja Komisi IV DPR RI dengan KLHK pada 12 Juni 2024.
Sudin menyampaikan NEK adalah instrumen yang memungkinkan untuk memberikan nilai ekonomi pada pengurangan emisi karbon, baik melalui mekanisme pasar karbon domestik maupun internasional. Dengan memanfaatkan NEK, kita dapat menciptakan insentif bagi sektor-sektor yang berpotensi besar untuk menurunkan emisi seperti kehutanan, kelautan, pertanian, energi dan pengelolaan sampah.
"Kita semua memahami bahwa pengembangan NEK bukanlah tugas yang mudah. Menjaga hutan itu tugas yang sangat sulit dan paling mahal, diperlukan kolaborasi antar berbagai pihak baik itu Pemerintah, Pemerintah Daerah, pemangku, masyarakat, dll untuk menciptakan kebijakan dan mekanisme yang dapat berjalan secara efektif dan baik," ucap Sudin.
Pada kesempatan ini, Sudin mengungkapkan Pimpinan dan Anggota Komisi IV DPR RI ingin mendengarkan penjelasan dan gambaran dari KLHK dan KKP mengenai arah kebijakan terkait pengembangan NEK.
"Karena Bu Menteri, kadang-kadang kita ditanya oleh masyarakat apa itu NEK, jual beli karbon, bagaimana caranya dan lain-lain. Banyak sekali pertanyaan seperti itu. Oleh karena itu, kami ingin mendapatkan jawaban secara utuh dan berimbang," ujarnya.
Ada lima poin penting yang dibahas pada diskusi ini yaitu kebijakan dan penyelenggaraan pengurangan emisi dan NEK; arah kebijakan kontribusi NDC dan NEK di sektor kehutanan; arah kebijakan kontribusi NDC dan NEK di sektor persampahan; arah kebijakan kontribusi blue carbon dalam NDC dan potensi NEK; serta peluang dan tantangan perdagangan karbon sebagai salah satu instrumen untuk mencapai target NDC.
"Semoga dari hasil diskusi dapat menghasilkan usulan kebijakan dan masukan konkrit serta dalam rangka mengurangi emisi GRK dan mempercepat transisi menuju pembangunan berkelanjutan sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan Pemerintah mendapatkan nilai tambah yang cukup besar," kata Sudin mengakhiri sambutannya.
Usai pengantar oleh Ketua Komisi IV DPR RI dan Menteri LHK, dilanjutkan dengan diskusi yang dibagi menjadi dua sesi. Pada sesi pertama yaitu "Penyelenggaraan NDC dan NEK" dimoderatori oleh Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Ermarini, dengan narsum Dirjen PPI Laksmi Dhewanthi, Dirjen PHL Dida Mighfar Ridha, Dirjen PSLB3 Rosa Vivien Ratnawati, dan Sekretaris Ditjen Pengelolaan dan Ruang Laut, KKP, Kusdianto. Kemudian, sesi kedua "Tantangan dan Peluang Penyelenggaraan dan Pemanfaatan NEK" dimoderatori oleh Anggota Komisi IV DPR RI Darori Wonodipuro, dengan narsum dari Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa; Direktur Utama BPDLH Joko Tri Haryanto; dan perwakilan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada masing-masing sesi juga dilakukan diskusi, tanggapan atau masukan dari Anggota Komisi IV DPR RI.
___________
Jakarta, KLHK, 20 September 2024
Website:
www.ppid.menlhk.go.id