Kerja BSILHK Dekat dengan Konsekuensi Hukum

Memiliki fungsi kontrol dan menjadi bagian pengawasan di tapisan pertama atas pelaksanaan perizinan berusaha, kerja BSILHK dekat dengan konsekuensi hukum. Meski BSILHK tidak menghasilkan bentuk-bentuk penetapan  yang bersifat konkret, individual, dan final; namun standar yang dihasilkan menjadi bahan penerbitan persetujuan/perizinan. Mengapa dekat dengan konsekuensi hukum?

[BSILHK, April 2024] Kementerian Hukum dan HAM membekali kapasitas legal drafting dalam hukum dan advokasi SDM BSILHK pada 24-26  April 2024 di Bogor. Diikuti lebih dari 100 peserta secara hibrid berasal dari internal BSILHK dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, mengupas tentang peraturan perundang-undangan, pembentukan kebijakan dalam sistem hukum Indonesia, pengharmonisasian, perumusan norma, dan teknik penyusunan, termasuk bagaimana dan mengapa uji materiil dan uji formil.

Badan Standardisasi Instrumen LHK lahir dengan mandat mendukung tercapainya UUCK melalui instrumen layanan standardisasi dalam perizinan berusaha. Dengan standardisasi dalam perizinan berusaha/persetujuan lingkungan, pemenuhan Service-level Arrangement (SLA) akan terpenuhi dengan singkat. Pelaku usaha tidak perlu struggling lagi, karena pemenuhan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup suatu usaha sebagai prasyarat perizinan berusaha – terstandar. Standar juga  akan mempermudah pemerintah dalam hal pengawasan, sehingga dampak usaha dan kegiatan dapat diminimalisir.  Dengan kata lain, BSILHK memiliki fungsi kontrol, serta menjadi bagian pengawasan di level pertama. Ini mengingatkan kembali  pesan Menteri pada awal perubahan organisasi Badan Litbang dan Inovasi (BLI) menjadi BSILHK pada Tahun 2021,  bahwa Standardisasi LHK menjadi landasan kokoh sebagai tapisan pertama dalam penyelesaian permasalahan perizinan berusaha/persetujuan lingkungan. Tapisan kedua adalah pemberi izin yaitu unit kerja eselon I KLHK,  dan tapisan ketiga adalah Direktorat Penegakan Hukum LHK untuk penyelesaian pelanggaran hukum lingkungan hidup dan kehutanan.

Hal tersebut ditegaskan oleh Kepala BSILHK, Ary Sudijanto, dalam arahannya pada pembukaan bimbingan teknis. Bahwa kerja-kerja Badan Standardisasi Instrumen LHK (BSILHK) makin dekat pada fungsi atau hasil yang akan mempunyai konsekuensi hukum.

Lebih lanjut Ary menjabarkan,  berkaitan dengan perizinan berusaha dan konsekuensi hukum, meski BSILHK tidak menghasilkan bentuk-bentuk penetapan  yang bersifat konkret, individual, dan final; namun standar yang dihasilkan menjadi bahan penerbitan persetujuan/perizinan. Produk kerja BSILHK penting, tidak boleh menimbulkan blunder. Untuk itu, produk BSILHK diharapkan menghasilkan kepastian hukum dalam proses-proses selanjutnya, sehingga para pelaksana standardisasi, khususnya para peserta bimtek harus paham konteks.

Direktur Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah dan Pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, Nuryanti Widyastuti, menanggapi pertanyaan peserta tentang implikasi-implikasi pemberlakuan suatu undang-undang terhadap ekonomi dan sosial; menegaskan;  pertama, bahwa dalam penyusunan perundangan perlu dibuat naskah akademik atau naskah urgensi, ada kajian ilmiahnya, ada kajian-kajian implikasinya, termasuk potensi-potensi moral hazard dalam sebuah perundangan. Kedua, libatkan para pihak terdampak sejak awal penyusunan, masyarakat salah satunya. Ketiga, libatkan analis hukum atau perancang perundangan – agar turut menyisir potensi-potensi implikasi yang akan terjadi. Kalo perlu turun ke lapangan, lihat apa yang terjadi di lapangan, tambahnya. Jadi, lebih dari sekedar melihat keharmonisan dengan perundangan di atasnya.

Secara umum izin merupakan bentuk dispensasi atau pembebasan dari suatu larangan. Izin berarti memperkenankan, memperbolehkan atau tidak melarang. Bahwa dengan izin sesuatu yang sebelumnya tidak boleh menjadi boleh, dengan persyaratan-persyaratan tentunya.  Dengan kata lain apabila pelaku usaha telah mengantongi perizinan berusaha, aktivitas usaha yang sebelumnya ilegal, menjadi legal. Dan sebaliknya, kegiatan usaha yang tidak mengantongi izin, dapat diartikan melakukan aktivitas terlarang dan pelaku usaha dapat dijerat dengan tindakan hukum.

Dalam hal mendukung perizinan berusaha, pemerintah – dalam hal ini Kementerian LHK melakukan terobosan reformulasi proses penerbitan perizinan berusaha/persetujuan lingkungan, melalui “shifting burden” dari pelaku usaha ke pemerintah. Dimana sebelum terbitnya UUCK, pemenuhan persyaratan perizinan berusaha sepenuhnya oleh pelaku usaha. Setelah terbitnya UUCK, pemenuhan persyaratan dalam proses perizinan berusaha sebagian difasilitasi pemerintah melalui penyediaan standar-standar.

Trend pendekatan standardisasi dalam perizinan berusaha ini tidak hanya di Indonesia, namun menjadi tren di dunia. Sebagian besar perizinan usaha dirantasi dengan standar. Hanya perizinan terkait hal-hal yang spesifik saja ditangani secara case by case.

Konstruksi tersebut dapat dicermati pada perizinan berusaha resiko menengah rendah dan rendah yang dapat dilakukan secara otomatis melalui sistem. Proses perizinan sudah tidak ada lagi intervensi manusia, namun 100%  menggunakan standar. Isi/muatan kewajiban  dalam perizinan sama, hanya berbeda pada siapa kewajiban itu diberikan.

Kenapa standar menjadi penting? Karena dunia sudah mengalami over-regulated. Regulasi dituntut tidak sebagai barrier,  karena globalisasi dan pergerakan lintas batas sudah semakin tinggi giatnya. Hanya standar dan aturan yang kaitannya dengan kualifikasi dan persyaratan teknis yang dapat dikedepankan.

Menurut Ary, dalam legal drafting ada dua hal mendasar, yaitu  terkait bagaimana tata cara penyusunannya dan bagaimana menempatkan bahasa teknis yang menjadi substansi pengaturan dalam konteks hukum, agar tujuan pengaturan jelas, namun tidak menghilangkan substansinya. BSILHK akan menghasilkan produk standar yang banyak jumlahnya, dengan format yang sama. Sekilas standar yang disusun tampaknya sama, tapi isi substansinya berbeda. Norma-norma yang diatur  di dalamnya akan berbeda satu sama lain. Sensitifitas tersebut yang harus dimiliki oleh SDM BSILHK. Jadi harus memahami konteks.

“Saya  khawatir karena  apa  yang kita (BSILHK) lakukan  sesuatu yang rutin, sehingga kita kehilangan kontrol”. Pungkas Kepala Badan pada peserta bimtek legal drafting.

Dalam diskusi beberapa kali juga memberikan contoh-contoh pembentukan perundangan yang sedang trending, untuk mengetengahkan case bagi para peserta – bahwa prosesnya tidak linier, ada kepentingan-kepentingan dibaliknya. Bahkan cerita Kementerian Hukum dan HAM harus menjadi ‘penonton’ bahkan mediator – dalam acara harmonisasi perundangan, karena kementerian/lembaga terkait berdebat – berada di egosektoralnya masing-masing.  Sehingga sulit mencapai sepakat harmonis. Ini tantangan.

Bimtek legal drafting peningkatan kapasitas hukum dan advokasi  terselenggara atas  kerja sama  BSILHK dengan Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Perancang Perundang-undangan, Ditjen Peraturan Perundang Undangan, Kementerian Hukum dan HAM. Bimtek  diikuti oleh  SDM lingkup BSILHK baik balai, balai besar,  pusat, dan sekretariat. Bergabung hadir pula peserta dari Ditjen Penegakan Hukum KLHK. ***) 

Penulis : Indah Rahmawati dan Amelia Agusni

Editor : Yayuk Siswiyanti

Bagikan Berita / Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *