Menjaga Alam Badui dengan Standar LHK

Kelestarian alam wilayah Badui kini menghadapi gangguan lingkungan dan kerusakan hutan. Aktivitas-aktivitas pariwisata, penebangan liar, dan penambangan ilegal, perlu ditata dan perbaiki.  Bagaimana standar instrumen LHK memberikan jalan agar kelestarian alam Badui tetap terjaga?

[BSILHK]_Gunung Ulah Dilebur, Lebak Ulah Dirusak, demikian pedoman hidup Suku Badui, yang artinya gunung jangan dihancurkan dan lembah sebagai penampung air jangan dirusak. Suku Badui, atau dikenal juga sebagai Urang Kanekes, adalah sebuah masyarakat adat dan sub-etnis dari Suku Sunda yang bermukim di wilayah Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Pemerintah Lebak mengakui wilayah Badui sebagai Hak Ulayat Adat Badui dengan luas sekitar 5.101,8 ha. Wilayah Badui terbagi atas hutan lindung seluas 2.946 ha, hutan produksi seluas 2.155 ha, dan sisanya adalah permukiman dan lahan garapan penduduk. Wilayah Badui terbagi dalam dua zona, yakni Badui Dalam dan Badui Luar.

Kearifan lokal dan nilai-nilai budaya masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat ini, terutama Badui Dalam. Selain hidup sederhana, cinta damai, dan mandiri, Masyarakat Badui juga sangat menghargai alam. Bagi mereka, alam bukan hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga tempat bergantung untuk hidup. Karenanya, meski arus modernisasi terus mempengaruhi kehidupan mereka, Masyarakat Badui masih mempertahankan adat leluhur untuk senantiasa menjaga alam.

Masyarakat Badui hingga kini dilarang menebang pohon karena dapat merusak lingkungan hutan dan alam, terlebih kawasan mereka berada di wilayah hulu Provinsi Banten. Kawasan hutan Badui merupakan sumber resapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung, Ciberang dan Cisimeut. Hutan yang rusak diyakini mereka dapat menimbulkan bencana banjir, longsor dan kekeringan.

Pada akhir dekade 1980-an, Desa Kanekes mulai dibuka sebagai destinasi wisata. Hal ini dikukuhkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Badui.  Sejak itu, Desa Kanekes makin ramai dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara.

Kunjungan wisatawan ini berdampak pada lingkungan baik di Badui Dalam maupun Badui Luar. Penumpukan sampah plastik menjadi salah satu yang sangat menonjol di wilayah ini, karena mengotori perkampungan dan juga sungai. Masyarakat Badui yang tidak memiliki pengalaman dalam mengelola sampah plastik karena terbiasa hidup dengan bahan-bahan alami, akhirnya memilih untuk membakarnya.

Namun membakar sampah plastik tidak menyelesaikan persoalan. Asap pembakaran sampah plastik mulai mengganggu pernafasan warga setempat. Hal ini karena plastik yang dibakar bisa memicu pembentukan dioksin. Senyawa kimia ini dapat menimbulkan dampak buruk pada kesehatan karena memiliki potensi racun yang memengaruhi beberapa organ dan sistem tubuh.

Sampah plastik bukan satu-satunya masalah lingkungan di wilayah Badui. Penebangan liar dan penambangan emas ilegal juga telah merambah kawasan hutan adat mereka. Tidak hanya merusak hutan, penambangan emas ilegal tersebut juga sangat berpotensi mencemari tanah dan air akibat limbah merkuri yang digunakan untuk kegiatan penambangan.

Permasalahan lingkungan di Masyarakat Badui ini menjadi salah satu concern Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK). Sebagai lembaga yang mendapat mandat dalam bidang standardisasi lingkungan hidup dan kehutanan (LHK), BSILHK memegang peran utama menyediakan standar-standar untuk mengendalikan kegiatan atau usaha yang berdampak pada lingkungan dan kesehatan manusia.

Berdasarkan permasalahan lingkungan di atas, pengembangan dan penerapan aspek standardisasi LHK dipandang sebagai salah satu solusi yang strategis. Tujuannya adalah menjaga kualitas lingkungan dan hutan kawasan Badui dan sekitarnya tetap terjaga baik serta menjadi kawasan penyangga ekosistem DAS sekitarnya, sehingga tetap mampu mendukung kehidupan ekonomi dan sosial Masyarakat Badui dan masyakarat Banten umumnya.

Standar LHK pertama yang penting untuk dikembangkan dan diterapkan adalah standar pengelolaan sampah, terutama sampah plastik dan non-organik lainnya. Pengolahan sampah plastik menjadi berbagai barang multiguna bernilai ekonomi menjadi salah satu solusi praktis yang ditawarkan. Terkait ini, BSILHK telah langsung bekerja di tapak dengan menyelenggarakan bimbingan teknis daur ulang sampah di Desa Kanekes, Selasa (31/05/2022). Kegiatan ini menyasar kaum perempuan yang memiliki peran penting pada Masyarakat Badui.

“…karena ini adalah desa wisata, harapannya dapat dijual kepada pengunjung. Manfaatnya pertama desa menjadi bersih, dan yang lain lagi ada sedikit perputaran ekonomi. Jadi sampah yang ada diubah menjadi bernilai ekonomi,..” jelas Dr. Nur Sumedi saat membuka kegiatan bimbingan teknis tersebut.

Baca juga: Harmonisasi dengan alam – Membantu Perempuan Suku Baduy mengelola Limbah Plastik Wisata Kanekes

Permasalahan sampah ini diakui oleh Saija, Jaro atau Kepala Desa Kanekes. “..dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, sampah itu lebih menambah,..” jelasnya saat memberikan kata sambutan pada acara bimbingan teknis. Oleh karenanya, Jaro Saija sangat menyambut baik kegiatan ini dan menghadirkan sebanyak 30 peserta baik perempuan dan laki-laki dari masyarakat Badui Luar untuk ikut serta.

Standar LHK berikutnya yang potensial diterapkan adalah terkait dengan Standar Pelayanan Masyarakat-Fasilitas Publik (SPM-FP). Penerapan standar ini akan sangat mendukung untuk mengawal dan menjaga kondisi lingkungan hidup Badui dan sekitarnya tetap terjaga baik sebagai kawasan destinasi wisata. Beberapa SPM-FP yang relevan dapat diterapkan di kawasan wisata Badui dan sekitarnya adalah SPM-FP Pariwisata Alam, Pasar Rakyat, Terminal Angkutan Darat, dan Rumah Ibadah.

SPM-FP menyediakan standar bagi pengelola fasilitas publik melalui Peraturan Menteri LHK Nomor P.90 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Masyarakat pada Pos-Pos Fasilitas Publik dalam Rangka Peningkatan Kualitas Lingkungan. Materi substansi pengelolaan lingkungan hidup terpadu diterapkan melalui peran Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pelaksana urusan pemerintahan dalam pelayanan masyarakat di fasilitas publik dan peningkatan kualitas lingkungan menuju kota berkelanjutan, dengan dukungan Kementerian, Pemerintah Provinsi, serta para pemangku kepentingan.

Terkait dengan potensi kerusakan hutan akibat penebangan liar dan penambangan emas ilegal di hutan adat Badui, maka sosialisasi dan penerapan standar khusus pengelolaan hutan adat menjadi sangat strategis.  Standar ini telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.72/SETJEN/SLK/STD.0/12/2020 pada 30 Desember 2020 lalu.

Mempertimbangkan bahwa keberadaan masyarakat Badui dan kearifan lokalnya sangat mendukung konservasi hulu DAS Ciujung, Ciberang dan Cisimeut yang berperan penting bagi wilayah hilirnya, maka standardisasi pengelolaan masyarakat adat berkelanjutan menjadi sebuah konsep yang perlu dikembangkan. Konsep ini nantinya akan mengintegrasikan kearifan lokal dan kemajuan zaman sehingga tetap membuka pemberian hak-hak dasar warga negara untuk hidup sejahtera di wilayahnya masing-masing.

Harapannya, pengembangan dan penerapan standar-standar LHK di Desa Adat Badui ini akan menjadi model bagi keberlanjutan desa-desa adat lainnya di Indonesia. BSILHK akan terus bekerja konsisten di tingkat tapak untuk mengawal agar kondisi lingkungan hidup dan hutan tetap terjaga dalam setiap proses pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.

Dalam acara bimbingan teknis daur ulang sampah di Desa Kanekes pada akhir Mei 2022 lalu tersebut juga dilakukan acara literasi kepada sekitar 15 orang anak-anak Badui Luar dan 35 anak-anak SD Desa Bojong Menteng (luar Badui) tentang bahaya merkusi serta sampah plastik dan juga potensi ekonominya apabila diolah sekaligus pameran produk-produk BSILHK dan contoh produk olahan sampah plastik. Selain itu, juga dilakukan pengambilan contoh rambut anak-anak SD Bojong Menteng untuk mengecek kadar merkurinya. Dalam acara ini juga dilakukan penyerahan 200 bibit pohon serba guna seperti pala, petai, jengkol, sengon serta penanaman secara simbolik oleh Sekretaris BSILHK dan Jaro Saija.*(DP)

Penulis: Dyah Puspasari

Editor: Yayuk Siswiyanti

 

Bagikan Berita / Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *