Kini Indonesia memiliki laboratorium uji senyawa toxic dioxin furan

Proses pembakaran yang tidak sempurna menyisakan senyawa beracun dioxin furan di udara – yang kita hirup sehari-hari. Menyadari pentingnya kontrol dan pengendalian senyawa berbahaya dioxin furan, Badan Standardisasi LHK – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kini memiliki laboratorium ujinya. Tidak perlu melakukan pengujian ke luar negeri.

[BSILHK]_Pernahkah kita mendengar sebutan kata ini, Dioksin Furan? Apa itu dioksin furan, apakah dampaknya berbahaya bagi manusia dan lingkungan, bagaimana mitigasinya, dan kira-kira apa upaya kita mengatasi hal tersebut.

Dioksin Furan merupakan dua senyawa yang berbeda, dioksin berasal dari senyawa Polychlorinated dibenzo-p-dioksin (PCDD) dan furan berasal dari senyawa polychlorinated dibenzofuran (PCDF). Dengan ukuran senyawa yang sangat kecil sekali, dioksin furan terdeteksi dalam hampir semua kompartemen di dalam ekosistem global. Senyawa-senyawa ini dikategorikan ke dalam partikel yang menimbulkan pengaruh yang cukup signifikan bagi lingkungan.

Dioksin furan memiliki sifat fisik ataupun kimia yang hampir sama. Pencemaran yang terjadi akibat dioksin furan dikategorisasi menjadi jangka panjang maupun jangka pendek. Dampaknya terhadap kesehatan mahluk hidup ataupun lingkungan sangatlah mengkhawatirkan. Dengan sifat persisten, akumulasi, dan beracunnya, dioksin furan dapat menyebabkan pencemaran berskala besar terhadap lingkungan, kesehatan (sosial) dan ekonomi.

Dari sisi kesehatan, dampak yang ditimbulkan sangatlah buruk. Dalam waktu jangka panjang dioksin furan akan menyebabkan kanker, gangguan pada sistem reproduksi dan cacat lahir. Sedangkan jangka pendek akan menyebabkan kerusakan hati, kehilangan berat badan ataupun penurunan sistem kekebalan tubuh. Jika kita terpapar dioksin dengan konsentrasi 1 pg/kg berat badan/hari, maka probabilitas resiko terkena kanker adalah 1%.

Media sebar dioksin furan sangat beragam, melalu udara, air, dan dalam rantai makanan. Pada media udara, dioksin furan jika sekali terlepas ke lingkungan akan mengganggu berbagai keseimbangan komponen lingkungan. Sebagai senyawa semi-volatil, dioksin furan dapat hadir dalam fasa gas maupun terikat dalam partikel senyawa lain. Apabila musim panas, dioksin furan terklorinasi rendah cenderung ditemukan secara pre-dominan dalam fasa uap. Dioksin furan dalam fasa uap dapat memicu transformasi fotokimia dengan proses deklorinasi yang membawa pada proses yang membuat senyawa ini lebih beracun.

Dengan kelarutan dalam air yang begitu rendah, diokasin furan dapat terikat pada partikulat dan material organik dalam tanah dan sedimen. Sedangkan pada makhluk hidup, senyawa ini terkonsentrasi dalam jaringan lemak. Dalam rantai makanan, dioksin furan dapat terdeposit pada permukaan tumbuhan yang nantinya akan dikonsumsi oleh manusia dan hewan ternak. Melalui pengendapan basah, pengendapan kering dari ikatan kimia ke partikel udara, atau melalui transport difusi fasa gas ke udara hingga ke permukaan tumbuhan. Terdapat fakta yang menjadi indikasi bahwa input dioksin furan lebih terklorinasi dari pengendapan basah. Untuk hasil panen pertanian berupa daun, sumber utama kontaminasi adalah pengendapan secara langsung dari udara dan percikan tanah. Akumulasi dioksin yang terdapat pada akar dikonfirmasi hanya terdapat pada labu dan mentimun. Sedangkan pada hewan, dioksin yang terkonsumsi banyak terakumulasi pada jaringan lemak dan susu.

 

Mitigasi Dioksin Furan

Pada tingkat rumah tangga, dioksin furan dapat terjadi dari pembakaran dengan suhu rendah. Bahan bakarannya dapat berupa limbah padat dan cair, pembakaran sampah, asap kendaraan bermotor, asap hasil industri, kebakaran hutan, dan asap rokok. Apalagi jika dalam bahan bakaran tersebut terdapat sampah organik yang bercampur dengan bahan-bahan sintetis seperti PVC (pembungkus kabel, kulit sintetis, dan lantai vinil mengandung senyawa klor). Pembakaran yang tidak sempurna pada sampah plastik akan terurai sebagai dioksin di udara. Untuk peralatan elektronik seperti televisi dan komputer juga mengeluarkan emisi dioksin/furan sekitar 5 pikogram dalam 5 jam penggunaan.

Paparan dioksin juga dapat terjadi pada popok bayi berbahan dari hasil pengolahan kertas dan proses pemutihan. Jika popok ini dibakar maka akan menghasilkan dioksin yang dapat terabsorpsi oleh tumbuhan yang selanjutnya dapat ikut termakan oleh hewan dan manusia.

Untuk dioksin furan yang bersumber dari industri skala besar. Sumber pencemaran emisi dioksin/furan di Indonesia berasal dari pembangkit listrik dan pemanasan sebesar 66%, industri pulp dan kertas sebesar 21%, pembakaran tak terkendali 7,7%, industri besi dan non besi sebesar 4,5% dan lainnya berasal dari hasil pembakaran industri mineral, transportasi, dan tempat pembuangan sampah.

Dioksin dan furan adalah hasil pembakaran limbah domestik, medis, kebakaran hutan, smelter, daur ulang, PLTU, pabrik, dan lainnya; bahkan pembakaran sampah sehari-hari kita. Pembakaran yang tidak sempurna menimbulkan zat sisa (residu) toxic yaitu dioxin furan. Seperti plastik harus dibakar dengan suhu minimal 600 derajat celcius agar tidak menghasilkan dioxin dan furan. Tungku bakar atau insinerator saat ini sedang dikembangkan. Mendampingi pelaksanaan kebijakan sampah sebagai sumber energi – perlu dilakukan kontrol untuk dapat mengantisipasi dampak.

Indonesia perlu meningkatkan aksi memitigasi dampak dari dioksin furan. Salah satu upaya pemerintah adalah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK telah menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Peraturan ini mengatur pengurangan sampah oleh produsen dari 2020-2029 dan juga mengangkat pembatasan penggunaan plastik sebagai salah satu material sumber dioksin furan.

Kementerian LHK menghadapi tantangan yang tidak mudah. Dilansir dari informasi dari media online, Direktur Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS), Budi Susanto mengatakan konsumsi bahan baku plastik murni (virgin) pada 2025 nanti akan ada peningkatan permintaan industri plastik nasional menjadi 8 juta ton.

Upaya lain dari KLHK adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. Dalam Permen LHK 6/2021 ini disebutkan bahwa untuk pengelolaan B3 untuk menghilangkan senyawa dioksin furan setidaknya mencapai standar efisiensi minimal 99,99%. Pengelolaan limbahnya dilakukan secara termal dengan memenuhi standar komposisi jenis limbah B3 tidak melampaui baku mutu emisi dioxin furan. Pemenuhan standar baku mutu emisi tersebut dilakukan melalui uji laboratorium untuk melakukan kontrol usaha-usaha yang salah satu rantai kegiatannya adalah membakar. Memastikan pembakarannya sempurna. Memastikan usaha-usaha atau kegiatan tidak berkontribusi mencemari udara. Mengukur konsentrasi senyawa tersebut, Badan Standardisasi Instrumen LHK – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kini memiliki Laboratorium uji dioxin furan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional – Bappenas terus mendorong untuk meningkatkan kualitas udara Indonesia.

Penulis                 : M. Sahri Chair

Editor                    : Yayuk Siswiyanti

Sumber:

Bagikan Berita / Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *