Apakah kita memikirkan kemana E-Waste kita berakhir? BSILHK mengajak Generasi Z bicara gaya hidup ramah lingkungan

Gaya Hidup Mempengaruhi lingkungan global. Kini kita menghadapi Triple Planetary Crisis, BSILHK Mengajak Gen Z Merubah Gaya Hidup yang lebih bertanggung jawab untuk berkontribusi mengatasi Triple Planetary Crisis, terutama pengendalian E-Waste.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam pembukaan Festival Pengendalian Lingkungan berpesan agar kita memaknai langkah dan upaya pengelolaan lingkungan. Langkah-langkah baik kebijakan maupun kerja-kerja operasional di lapangan. Selain itu juga  dalam merespon  serta membina masyarakat berkenaan dengan penanganan lingkungan yang menjadi masalah masyarakat  sehari-hari. Langkah-langkah tersebut agar dilakukan secara terus menerus.  Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Kedua – Pasal 28H telah dinyatakan bahwa seluruh warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan Festival Pengendalian Lingkungan dengan tema “Atasi Pencemaran dan Pulihkan Lingkungan” di Jakarta 23-24 April 2024, kegiatan-kegiatannya antara lain diskusi panel, talkshow, coaching clinic, ekspose green leadership, dan pameran.

Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengangkat isu E-Waste, di panggung Talkshow Festival. Bahwa Gaya hidup berkorelasi erat dengan keinginan, bukan kebutuhan. Kebutuhan akan alat komunikasi dan alat kerja seperti gadget sering mengedepankan keinginan untuk mengikuti selera sesuai perkembangan model dan teknologi informasi. Gaya hidup yang tidak memiliki kepekaan akan dampak terhadap kualitas lingkungan, akan memperburuk terjadinya triple planetary crisis, yang tidak saja dihapai oleh kita, namun oleh seluruh dunia. Gaya hidup yang selaras, seimbang dan harmonis dengan alam menjadi urgensi untuk dilakukan.”

Dalam era gaya hidup digital seperti sekarang, ketergantungan kita pada berbagai perangkat elektronik semakin meningkat. Kita cenderung membeli versi terbaru dari gadget untuk tetap terkini. Namun, hal ini berdampak pada peningkatan konsumsi barang elektronik dan meningkatnya jumlah sampah elektronik (e-waste). E-waste merujuk pada barang-barang elektronik yang sudah tidak terpakai dan dibuang, baik itu karena rusak, usang atau bahkan karena tidak sesuai dengan inovasi terkini. Contoh barang elektronik yang sangat cepat perkembangan inovasinya adalah handphone, laptop, komputer, televisi.

Menurut laporan Global E-Waste Statistics Partnership (GESP) tahun 2020, diperkirakan bahwa dunia menghasilkan sekitar 53.6 juta metrik ton e-waste pada tahun 2019. Ini diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 74.7 juta ton pada tahun 2030 jika tidak ada tindakan lebih lanjut.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Indonesia jumlah timbulan sampah elektronik mencapai 2 juta ton pada 2021. Jumlah timbulan sampah elektronik itu diperkirakan terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan perkembangan teknologi. Ilmuwan memprediksi timbunan sampah elektronik di Indonesia mencapai 3,2 ribu kiloton pada 2040.

“BSILHK ikut melakukan aksi nyata terhadap pengelolaan e-waste yang dimulai dari kantor pemerintah, yaitu elektronik dengan status Barang Milik Negara melalui penerapan sistem standardisasi. Sistim ini dengan mengembangkan prinsip pengelolaan e-waste yang berkelanjutan, yang melibatkan pihak pemerintah, pihak praktisi dan masyarakat, termasuk promosi daur ulang, pemrosesan yang aman, dan pengurangan penggunaan bahan beracun dalam perangkat elektronik” disampaikan Sekretaris Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Nur Sumedi, di Jakarta, Selasa pada BSI Talks dalam rangkaian Festival Pengendalian Lingkungan 2024 (23/4/2024).

Lebih lanjut Ia mengatakan sistem pengelolaan e-waste ini dapat saja ditiru oleh organisasi lainnya, misalnya swasta, baik itu sekolah maupun kantor swasta. Sehingga, kita dapat menjawab tantangan hasil studi GESP. Menurutnya banyak banyak pengelolaan e-waste yang belum terdata dengan baik.

Sumedi dalam talkshow tersebut mengajak generasi Z untuk memahami dan proaktif dalam menghadapi tiga krisis planet (triple planetary crisis) yakni perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi melalui gaya hidup ramah lingkungan dengan memberikan pemahaman dan inspirasi dalam pengelolaan e-waste sebagai bagian dari ekonomi sirkular. Karakter Gen Z, salah satunya adalah melek teknologi. Mereka tidak lepas dari handphone, laptop, dan internet.

Mengamini hal tersebut, Achmad Gunawan Widjaksana, Direktur Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 mengatakan bahwa saat ini tren pengelolaan lingkungan berubah secara signifikan, tidak lagi ekonomi linier namun sudah beralih ke ekonomi sirkular.

“Dunia sudah mulai berpikir memunculkan istilah sirkular ekonomi, tidak lagi linier” ujarnya pada kesempatan yang sama.

Ekonomi sirkular adalah suatu model ekonomi yang bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam dan mengurangi pemborosan dengan mempromosikan penggunaan kembali, daur ulang, dan pemulihan bahan-bahan yang sudah tidak digunakan. Dalam ekonomi sirkular, barang yang sudah tidak digunakan lagi dilihat sebagai sumber bahan baku, sehingga diputar kembali untuk dimanfaatkan secara berulang dalam lingkaran yang tidak berujung, sehingga mencegah barang dan komponennya dibuag ke badan lingkungan.

Gunawan menjelaskan e-waste merupakan salah satu dari limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) karena memiliki kandungan heavy metal, logam berat yang tidak dapat terurai oleh lingkungan. Bila berakhir di lingkungan, maka logam berat akan bertahan di permukaan tanah dan bahkan mengalir ke sumber-sumber air baku yang dikonsumsi oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Ada kurang lebih 15 jenis logam berat yang berbahada dan beracun di dalam satu produk gadget, antara lain Arsen, Barium, Cadmium, Chromium, Tembaga, Timbal, Merkuri, dll.

Disisi lain, e-waste mengandung komponen berharga yang dapat digunakan kembali. Sedikitnya ada 7 komponen berharga dalam satu produk gadget, yaitu: Emas, Plastik, Tembaga, Aluminium, Besi, Paladium dan Perak.

Oleh karena tingginya harga komponen tersebut, maka muncul istilah urban mining, yaitu mengambil bahan tambah dari barang-barang elektronik bekas. Seperti yang dilakukan oleh Singapura.  “Di Singapura, 1 juta HP dapat menghasilkan 1 kilogram emas” ujarnya mencontohkan bagaimana ekonomi bisa berjalan secara circular dari suatu barang jika mampu diolah dan diambil kembali.

Hal ini disampaikannya merespon survey kepada peserta BSI Talks bahwa setiap orang bisa memiliki gadget lebih dari satu produk.

Urban Mining dari E-waste

Ditegaskan lagi bahwa E-Waste kini, tidak hanya electronic, namun juga electrical, dan equipment. Jika bicara logam mineral, kandungannya berada di 3 E tersebut. Saat ini tren mencari logam mineral tidak lagi dari gunung atau alam dengan melakukan eksploitasi, namun dari perkotaan atau yang dikenal sebagai urban mining. Urban mining adalah proses pengambilan bahan berharga dari limbah elektronik dan limbah lainnya yang berasal dari perkotaan. Istilah ini merujuk pada praktik ekstraksi sumber daya dari barang-barang bekas atau limbah elektronik yang sudah tidak terpakai lagi, seperti komputer, handphone, atau peralatan elektronik lainnya.

Dari berbagai referensi, komposisi komponen logam dan non-logam yang dapat dimanfaatkan kembali adalah sebagaimana grafik berikut.

Dalam urban mining, sumber daya seperti logam berharga: emas, perak, tembaga, dan aluminium diekstraksi dan didaur ulang dari barang-barang bekas tersebut. Praktik urban mining penting karena memungkinkan untuk memanfaatkan kembali sumber daya yang ada dan mengurangi kebutuhan akan penambangan bahan mentah baru, yang dapat menyebabkan dampak lingkungan yang negatif.

PT Mukti Mandiri Lestari, sebagai perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan limbah dan sampah elektronik telah menjalankan praktik urban mining dan ekonomi sirkular. Sampah elektronik jika diolah dan dipilah dapat menjadi sumber bahan baku atau raw material.

“Laptop bekas jika kita berbicara sampah maka memang sampah, namun jika kita berpikir secara ekonomi, maka laptop bekas bisa menjadi raw material atau bahan baku” ujar Kusdiana Hilman, Direktur Operasional PT Mukti Mandiri Lestari mencontohkan.

Lebih lanjut Himan mencontohkan laptop bekas jika diurai terdapat beberapa unsur terdiri dari plastik dan metal yang jika dipilah maka akan terdiri dari berbagai jenis antara lain aluminiun dan tembaga yang dapat menjadi bahan baku untuk produk lain sehingga terjadilah sirkular ekonomi.

Hilman mengingatkan Gen Z untuk mulai peduli dengan memanfaatkan barang elektronik dengan semaksimal mungkin sehingga tidak terjadi pemborosan. Walaupun bagi perusahaannya e-waste bisa menjadi bahan untuk diolah kembali, namun kepedulian terhadap lingkungan lebih utama.

Peran Standar dalam Pengelolaan E-Waste

Setiap generasi mempunyai gaya hidup yang berbeda. Salah satu contohnya masyarakat mempunyai gaya hidup ramah lingkungan dan tidak menggunakan perangkat elektronik dan sudah menjadi standar hidup mereka. Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Kualitas Lingkungan, Widhi Handoyo, S.KM., MT.

Menurutnya jika kita telah mempunyai awareness dan kepedulian dalam pemilahan sampah dan sudah menjadi kesepakatan, hal tersebut bisa dijadikan standar.

“Standar mendokumentasikan best practices yang ada menjadi acuan yang digunakan dalam melakukan suatu aktivitas”. Lebih lanjut dijelaskan dengan standar dapat meminimalkan polusi dengan membentuk, mengkonsep dan melakukan  gaya hidup yang dapat mengurangi krisis planet.

Widhi mengajak para Gen Z untuk sama-sama berkomitmen dalam memaksimalkan barang elektronik. Ia lalu mencontohkan bagaimana memaksimalkan barang electronik sesuai dengan lifetime-nya atau masa pakainya. Standar harus diterapkan sehingga dapat memberikan kontribusi dalam  mengatasi tiga krisis planet.

“Kebutuhan atau keingian menjadi pertimbangan dalam membeli barang elektronik” ujarnya.

Sebagai sebuah diskusi interaktif, BSI Talk dengan tema “Menyelamatkan Bumi: Peran Proaktif Generasi Z dalam Mengurangi Dampak dari Tiga Krisis Planet Melalui Gaya Hidup Ramah Lingkungan” memberikan pembelajaran kepada generasi muda dalam mengurangi dampak dari tiga krisis planet melalui gaya hidup ramah lingkungan, dengan fokus khusus pada pengelolaan e-waste dan penyediaan standar.

BSI Talks yang dimoderatori oleh Amelia Agusni ini, memberikan perubahan mindset gen Z yang tercermin dari beberapa respon dari peserta yang terdiri dari siswa sekolah menengah atas dari wilayah Jabodetabek.

“Talkshow ini sangat menambah wawasan ilmu yang saya dapat bisa menjadi langkah awal Gen Z untuk memulai hidup dengan ramah lingkungan membantu mencegah triple planetary crisis dan mendapat kan ilmu tentang betapa bahayanya sampah B3” ungkap Rasya Alfiansyah Sutisna seorang siswa kelas 11 SMK Kehutanan Bakti Rimba, Bogor.

Sementara Hervira Veriska, siswa lain mengatakan bahwa dengan kegiatan ini – dia menjadi memahami bagaimana pengelolaan limbah B3 e-waste dengan baik dan benar dan ternyata bisa menjadi sumber ekonomi”.

Penulis: Uus Danu Kusumah, Amelia Agusni, Tutik Sriyati

Editor: Yayuk Siswiyanti

Bagikan Berita / Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *